Melemahnya otot tangan dan kaki yang membuat sulit bergerak adalah tanda awal penyakit sklerosis lateral amiotrofik (ALS). Pelemahan itu akan diikuti susut hingga lumpuhnya otot pengendali gerak tangan dan tungkai. Pelemahan itu merembet ke otot pengendali fungsi vital, seperti bicara, menelan, dan bernapas hingga bisa memicu kematian penderitanya.
Di Indonesia, ALS sering dianggap sebagai penyakit orang tua hingga perawatan penderita belum optimal," kata Ketua Yayasan ALS Indonesia Premana W Premadi yang juga mengalami ALS selama lebih dari tiga tahun di Jakarta, Sabtu (8/8).
ALS merupakan gangguan neurologis yang ditandai dengan kerusakan sel saraf motorik yang mengontrol otot sukarela pengendali gerak di tangan, kaki, atau wajah. Dalam kondisi normal, pesan atau perintah dari saraf motorik di otak akan dikirim ke saraf motorik di tulang belakang dan diteruskan ke otot tertentu. Matinya sel saraf motorik akan mematikan otot karena otot jadi tak berfungsi.
Kelumpuhan otot gerak itu membuat penderita mudah kesandung, tak mampu memegang sesuatu, cadel, otot kram dan berkedut, atau tak bisa mengendalikan tertawa dan menangis. Lontaran vokal saat berbicara biasanya juga berubah.
Penyakit itu berkembang progresif. Setelah melumpuhkan otot gerak tangan, kaki dan wajah, ALS akan menyerang berbagai otot untuk fungsi vital, seperti berbicara, menelan makanan, hingga bernapas. Progresivitas antarpenderita ALS berbeda, tetapi hampir semuanya akan mengalaminya.
"Jika pelemahan otot sudah mengganggu pernapasan, penderita harus dibantu dengan ventilator agar pertukaran oksigen dan karbondioksida berlangsung baik dan penderita tak keracunan," ucap Premana.
Meski demikian, gejala dan pola perkembangan ALS pada setiap pasien berbeda. "Karena hanya saraf motorik yang kena, otak pasien ALS tak terganggu sehingga mereka masih bisa berpikir, berkedip, dan buang air," kata dokter bedah vaskuler Beny Atmadja Wirjomartani.
Penyakit itu ditemukan ahli saraf Perancis Jean-Martin Charcot pada 1869. Namun, hingga kini belum diketahui penyebabnya dan belum ada obatnya. Perhatian pada penyakit ini di Amerika Serikat memuncak saat pemain bisbol ternama AS, Lou Gehrig (1903-1941), mengumumkan penyakit ALS yang dideritanya. Karena itu, ALS juga dikenal sebagai penyakit Lou Gehrig.
Banyak tokoh terkenal lain dan cerdas terkena ALS. Mereka di antaranya adalah pemetik bas grup musik Toto, Mike Porcaro (1955-2015); pembuat program televisi Sesame Street, Jon Stone (1931-1997); dan fisikawan kondang Stephen Hawking. Adapun Premana adalah ahli kosmologi di Program Studi Astronomi Institut Teknologi Bandung.
Menurut Premana, jumlah pasti pasien ALS di Indonesia tak diketahui pasti. Meski dia melacak ke beberapa pusat saraf di rumah sakit, amat jarang menemukan ada pasien ALS. Kurangnya pemahaman masyarakat tentang ALS membuat penyakit itu kerap terabaikan.
Di AS, diperkirakan ada dua penderita ALS di antara 100.000 penduduk atau 20.000-30.000 orang. Setiap tahun, jumlah penderita bertambah 5.6006.400 orang atau 15 pasien per hari. Penyakit itu tak menular dan biasanya diderita mereka yang berumur 40-70 tahun dan usia rata-rata pasien 55 tahun. Namun, ALS juga ditemukan pada usia 20-30 tahun. Sebanyak 90-95 persen ALS muncul sporadis, tak berkait keturunan.
Data ALS Care menunjukkan, ALS terjadi di seluruh dunia tanpa batasan ras, etnis, dan sosial ekonomi. Namun, data di AS menunjukkan, 60 persen penderita adalah pria dan 93 persen dari ras Kaukasia. Seiring bertambahnya umur, jumlah penderita laki-laki dan perempuan hampir sama.
Setengah pasien ALS hanya mampu bertahan hidup tiga tahun setelah didiagnosis. Adapun 20 persen dan 10 persennya bisa bertahan hingga lima tahun dan 10 tahun setelah didiagnosis. Hanya 5 persen pasien yang mampu hidup lebih dari 20 tahun sejak diketahui mengidap ALS. Namun, Hawking, yang didiagnosis ALS sejak 1963, hingga kini mampu bertahan hidup.
"Makin muda penderita ALS, kemampuan bertahan hidup makin pendek," kata Beny.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | Dini Felicitas |
KOMENTAR