“Arkeologi berangkat dari kelampauan, bermuara pada kekinian, dan berproyeksi ke masa depan...,” ucap Profesor Riset Harry Truman Simanjuntak dengan intonasi yang mantap. “Luar biasa bukan?”
“Tetapi,” dia buru-buru melanjutkan, “arkeologi adalah ilmu yang sepi dari tepuk tangan, langka dalam perbincangan, dan jauh dari kemewahan atau kekayaan.”
“Pak Truman”, demikian sapaan akrabnya, tengah memberikan sambutan atas penghargaan ilmu pengetahuan LIPI Sarwono Award 2015 pada Kamis pagi, 20 Agustus 2015 di Jakarta. Sosoknya dikenal sebagai ahli arkeologi bidang prasejarah dari Pusat Arkeologi Nasional. Dia juga peneliti utama dan sekaligus pendiri Center for Prehistory and Austronesian Studies.
Sarwono Award mulai dianugerahkan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia sejak 2002, dan Truman merupakan orang ke-23 yang menerimanya. Penghargaan ini diberikan kepada perorangan yang telah menunjukkan prestasi luar biasa dalam ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan kemanusiaan. Sarwono Award digelar untuk mengenang jasa Prof.Dr. Sarwono Prawirohardjo. Dia merupakan salah satu ilmuwan terkemuka yang berperan besar dalam pembangunan kelembagaan ilmu pengetahuan di Indonesia, yang kelak menjadi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Selama 38 menekuni dunia arkeologi, Truman telah menyumbangkan tenaga dan pikirannya untuk menelusuri prasejarah Indonesia. Sederet hasil penelitiannya—tentang hominid dan palaeolitik di penjuru Indonesia, mengungkap kehidupan Plestosen Akhir sampai Holosen Awal, hingga budaya Megalitik—telah menjadi rujukan banyak peneliti dunia.
“Para leluhur Nusantara telah menorehkan karya-karya besar yang mendunia mendahului zamannya,” ujarnya. “Nilai-nilai ini mestinya dapat memotivasi bangsa kita di masa sekarang dan masa datang untuk meraih capaian-capaian yang mendunia, mengikuti bahkan melebihi para leluhurnya.”
Dalam orasi pengukuhannya sebagai profesor riset pada 2006, Truman pernah mengungkapkan mengenai kemajemukan dalam prasejarah Indonesia. “Kita tidak bisa menghindar dari pluralisme,” ungkapnya. “Hanya kehancuran jika bangsa Indonesia dipaksakan seragam.” Keseragaman hanya akan membuat negeri ini hancur, hemat Truman, dan apabila negeri ini bangkit selepas kehancurannya pun kelak muncul keanekaragaman lagi. Artinya, membangun bangsa ini harus berdasarkan kebinekaan. “Ini yang harus ditonjolkan agar Indonesia menjadi sebuah bangsa yang berperadaban khas.”
Baca juga: Pusat Arkeologi Nasional Menyingkap Misteri Candi yang Hilang
Tatkala jumpa pers usai menerima Sarwono Award, Truman mengungkapkan kembali orasi ilmiah tersebut. Pada kenyataannya memang pluralisme telah mewarnai Indonesia. Bahkan, kata Truman, pluralisme itu ada sejak masa kehidupan penutur Austronesia—kita mengenalnya sebagai leluhur kita—yang menghuni Nusantara sekitar 4.000 tahun yang lalu. “Sejak manusia tertua menghuni Jawa, pluralitas sudah terlihat,” ujarnya, “baik dalam bentuk fisik manusianya maupun dalam bentuk budayanya.”
Nusantara memiliki kebudayaan yang sangat beragam di setiap daerah, kendati kawasan itu juga memiliki kebudayaan umum yang merupakan kebudayaan dasar—Truman menyebutnya sebagai neolitic package.
Para penutur Austronesia itu membawa budaya ke Nusantara. Lantaran evolusi lokal dan masuknya pengaruh luar yang berbeda di setiap bagian nusantara, perkembangan budaya itu melahirkan kekhasan lokal. Truman mencontohkan, kebinekaan itu muncul dalam unsur-unsur budaya—corak tembikar, pembuatan kain dari kulit kayu, ragam mata panah. “Fakto-faktor yang memengaruhi kebinekaan itu ada semua di sini,” ujarnya, “mulai lingkungan sampai keletakan geografisnya, maupun kondisi geografisnya.”
Selain kebinekaan dalam kebudayaan, Nusantara juga memiliki kebinekaan untuk kelompok manusia yang menghuninya karena pengaruh adaptasi lokal. Penutur Austronesia awal telah beradaptasi dengan lingkungan yang berbeda-beda, hingga menciptakan tampilan manusia yang berbeda dan budaya berbeda. “Misal nutrisi yang berbeda di setiap tempat yang menimbulkan kekhasan,” ujar Truman. “Ini yang disebut etnogenesis Indonesia.”
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR