“Perbedaan gaya seni dan arsitektur candi masa JawaTengah dan JawaTimur begitu mencolok,” ungkap Sukawati Susetyo .”Bahkan, mengesankan seperti dua budaya yang terpisah.”
Sukawati, ahli arkeologi di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, mengungkapkan pemaparannya tentang temuan timnya selama mengekskavasi repihan situs Candi Adan-adan. Pemaparan itu disajikan pada Seminar Nasional yang bertajuk “Mengungkap Akar Peradaban, Menguatkan Karakter Bangsa” pada 12 Desember silam.
Tinggalan arkeologis yang terbenam tanah sedalam 2,3 meter itu berada di Desa Adan-Adan, Kecamatan Gurah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur.
Sejatinya, Jawa Timur memiliki sederet candi yang ditemukan dalam kondisi terbenam dalam tanah seperti Candi Gurah (terpendam 3 meter), Candi Kepung (terpendam 7 meter), CandiNdorok (terpendam 5 meter), Candi Tunglur (terpendam 3 meter), Candi Tondowongso (terpendam 1-2 meter).
“Gaya seni Jawa Tengah seperti berhenti berkembang dengan tiba-tiba di akhir abad ke-10,” ungkap Sukawati, “sementara seni di timur jawa tampak muncul kembali pada pertengahan abad ke-13.”
Temuan Candi Adan-adan ini sungguh penting, seperti mata rantai yang hilang dalam periode sejarah klasik di Indonesia.
“Periode di antaranya hampir kosong,” ungkapnya. Selama ini banyak yang berpendapat bahwa pada masa Kerajaan Kadiri tidak berkembang seni arsitektur. Sebaliknya, masa itu adalah masa keemasan bagi seni sastra.
Pendapat Sukawati ini berdasar pada langkanya bukti dari seni bangun yang dapat ditemukan. Setiap peradaban, demikian juga untuk peradaban Hindu-Buddha, biasanya juga ditandai dengan seni arsitektur.
Lalu, pertanyaan yang menggelitik minat arkeolog adalah apakah Candi Adan-Adan merupakan bentuk arsitektur peralihan masa Kadiri?
Lalu, pertanyaan yang menggelitik minat arkeolog adalah apakah Candi Adan-Adan merupakan bentuk arsitektur peralihan masa Kadiri?
Sukawati dan timnya mengkaji peradaban Hindu Buddha masa Kadiri-Singhasari. Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari penelitian serupa yang sudah dilakukan pada tahun sebelumnya.
Pada 2016, para arkeolog mulai mengidentifikasi tiga makara. Dua makara berukuran besar sekitar dua meter—yang diduga sebagai makara dari candi utama. Sedangkan makara lainnya berukuran lebih kecil, dan mereka menduganya berasal dari candi perwara. Temuan lainnya adalah kepala kala yang pengerjaannya belum selesai, batu-batu candi, dan reruntuhan batu bata.
Pada akhir September hingga awal Oktober 2017, tim arkeolog kembali meneliti dengan metode survei geologi. Tujuannya, untuk mengetahui bahan asal dari bangunan Candi Adan-adan. Mereka menyingkap pula kronologi candi lewat hasil ekskavasi. Setelah proses ini, baru dilakukan rekonstruksi kebudayaan masa Hindu-Buddha pada masa Kadiri-Singhasari terkait religi dan seni arsitektur.
Candi Adan-adan mengalami tiga kali masa pembangunan lantaran terganggu oleh bencana letusan gunung, bahkan banjir. Sampai terjadinya letusan hebat yang mengubur candi, pembangunan tak kunjung selesai juga.
Berdasarkan petunjuk lapisan tanah, Candi Adan-adan mengalami tiga kali masa pembangunan lantaran terganggu oleh bencana letusan gunung, bahkan banjir. Sampai terjadinya letusan hebat yang mengubur candi, pembangunan tak kunjung selesai juga. Namun, perihal kapan persisnya letusan hebat itu terjadi, Sukawati dan timnya masih belum bisa memberikan pendapat.
“Letusan Kelud (Kampud) juga disebutkan dalam Nagarakertagama dan Pararaton,” ungkap Sukawati. “Kejadiannya berkali-kali pada abad ke-13, 14, 15.” Kemudian ia menambahkan, “Dan, hal ini juga didukung dengan data vulkanologi.”
Hasil temuan tim arkeolog mengungkapkan bahwa Candi Adan-adan terbuat dari dua bahan, yaitu batu dan bata. Batu andesit yang digunakan untuk membangun candi berasal dari Gunung Kelud.
Sukawati menduga bahwa candi ini memiliki bagian kaki dan tubuh karena adanya temuan dua buah kepala kala. Dia juga berharap, “Minimal masih ada dua kala yang belum ditemukan.”
Berdasar temuan arkeologi, Sukawati menduga tampaknya candi ini tidak selesai pembangunannya. Pendapat ini didasarkan pada temuan dua kepala kala yang belum rampung. Makara candi belum dihias dengan sempurna. Bahkan, drawapala yang belum sempurna bagian anting kanannya dan bentuk ular yang menempel di bagian bawah tubuh juga belum sempurna.
Sukawati menafsirkan bahwa hasil telaah ikonografis terhadap arca drawapala menunjukkan pengaruh gaya Kadiri. Sementara berdasarkan unsur bangunannya, dia menjumpai adanya pengaruh gaya Mataram Kuno, yang berkembang sekitar abad ke-9 sampai ke-10. Tampaknya, Candi Adan-Adan merupakan bentuk arsitektur peralihan dari masa Mataram Kuno ke masa Kadiri.
Setelah temuan ini dipublikasikan beberapa waktu silam, masyarakat dan pemerintah setempat begitu antusias. Bahkan, warga dari luar kota pun berduyun menengok candi leluhur mereka yang hilang.
“Dari rekonstruksi tersebut,” ungkap Sukawati, “diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai rekonstruksi sejarah peradaban Hindu-Buddha di Kediri.”
Pusat Penelitian Arkeologi Nasional rencana melanjutkan kembali penelitian di situs Candi Adan-adan pada 2018. Semoga misteri tentang candi yang tak pernah selesai dibangun ini segera terungkap tuntas. Ketika National Geographic Indonesia berharap mendapatkan informasi terkait bentuk utuh arsitektur candi pada ekskavasi tahun depan, Sukawati menyambut dengan berkata, “Saya juga.”
Beradaptasi dengan Zaman, Tokoh Pemuda Wewo Sadar Kebutuhan Energi Ramah Lingkungan
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR