Cita-cita Indonesia untuk menguasai teknologi satelit secara mandiri mulai berjalan. Jika tak ada perubahan, satelit buatan para perekayasa Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, LAPAN A2/Orari, akan diluncurkan dari India, 27 September 2015. Inilah satelit pertama yang seluruh prosesnya dikerjakan di Indonesia.
Beberapa perekayasa muda, Senin (31/8/2015), sibuk melakukan uji akhir beberapa fungsi satelit LAPAN A2/Orari di clean room Pusat Teknologi Satelit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN), Rancabungur, Bogor, Jawa Barat. Mereka saling berdiskusi dan berkoordinasi dengan perekayasa lain di ruang kendali.
Uji untuk memastikan semua fungsi satelit berjalan baik. Satelit yang selesai dibangun pada 2012 itu akan dikirim ke India, Jumat (4/9), dan diluncurkan dari Pusat Antariksa Satish Dhawan, Sriharikota, akhir September. LAPAN A2 akan ditumpangkan pada roket India bermuatan utama satelit astronomi Astrosat.
Para perekayasa satelit LAPAN itu berumur 30-40 tahun, sebagian juga terlibat membuat satelit LAPAN A1/TUBSat, yang diproduksi dan dibantu ahli Jerman, dan satelit Telkom 3. Menurut Ketua Tim Perekayasa LAPAN A2/Orari M Mukhayadi, para perekayasa itu berasal dari berbagai bidang ilmu: teknik mesin, fisika, penerbangan, elektronika, komputer, dan pemrograman.
Mereka perancang, pendesain, dan memproduksi LAPAN A2/Orari di fasilitas produksi Lapan. Proses uji memanfaatkan fasilitas lembaga penelitian lain. Uji getar di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan uji kompatibilitas elektromagnetik menggunakan peralatan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Karakter
Satelit LAPAN A2/Orari adalah satelit mikro berdimensi 50 x 47 x 38 sentimeter dan berbobot 78 kilogram. Meski kecil, tak berarti kemampuannya kecil.
Kepala Pusat Teknologi Satelit LAPAN Suhermanto mengatakan, sejak satelit LAPAN A1 diluncurkan pada 2007, sejumlah negara seperti Tiongkok dan Singapura ikut membuat satelit mikro. Proses pembuatan yang lebih sederhana, cepat, murah dan peluncurannya lebih mudah jadi alasannya. "Pembangunan satelit yang lebih kompak sedang tren," katanya.
Sama dengan A1, LAPAN A2 adalah satelit eksperimental, bukan operasional. Namun, Kepala LAPAN Thomas Djamaluddin, pertengahan Agustus lalu, mengatakan, penguasaan satelit mikro sangat penting sebagai penahapan menguasai teknologi satelit komunikasi yang teknologinya lebih rumit.
Orbit A2 berada pada ketinggian 650 kilometer (km) dari muka Bumi, lebih tinggi 20 km dari A1. Bedanya, A2 satelit ekuatorial atau mengelilingi bagian khatulistiwa Bumi, bukan satelit polar yang mengelilingi kutub Bumi seperti satelit A1. Keunggulannya, satelit ekuatorial akan melintasi wilayah Indonesia 14 kali sehari, sedangkan satelit polar hanya 4 kali sehari.
Satelit A2 dilengkapi sejumlah instrumen yang lebih baik daripada A1, seperti kamera digital dan kamera video analog untuk memotret muka Bumi beresolusi 4 meter dan lebar sapuan 7 km. Resolusi kamera A1 hanya 6 m dan lebar sapuannya 3,5 km. Kamera itu bisa untuk memantau perubahan tata guna lahan.
Instrumen lain adalah Automatic Identification System (AIS) untuk memantau pergerakan kapal laut, eksplorasi sumber daya laut dan perikanan, serta operasi keamanan laut.
Selain itu, satelit juga dilengkapi voice repeater dan automatic packet reporting system (APRS) untuk mitigasi bencana menggunakan radio amatir. APRS bisa digunakan untuk penjejakan obyek bergerak, seperti memantau banjir dan perubahan tinggi muka air laut dan pergerakan manusia sehari-hari.
"APRS bisa juga menandai obyek tetap, seperti pulau-pulau terluar Indonesia," kata Djoko M Susilo dari Organisasi Amatir Radio Indonesia (Orari).
Pengendalian
Meski nantinya Lapan A2/Orari berhasil ditempatkan di orbit, bukan berarti misi satelit selesai. Pemantauan kondisi kesehatan satelit harus dilakukan setiap hari agar seluruh instrumen bekerja optimal, meminimalkan potensi gangguan, dan memanjangkan usia hidup.
"Tanpa pemantauan kesehatan satelit yang baik, Lapan A1 tak mungkin bertahan hingga 7 tahun. Padahal, usia satelit hanya direncanakan tiga tahun," kata Kepala Bidang Ruas Bumi LAPAN, Chusnul Tri Judianto.
Kemampuan mengendalikan satelit juga penting dikuasai untuk menjaga keselamatan satelit. Di luar angkasa, satelit tak bebas dari ancaman. Sejak 2010, LAPAN A1 setidaknya 14 kali bersimpangan dengan obyek luar angkasa lain dengan jarak 300 meter hingga beberapa kilometer.
Dengan kemampuan para perekayasa saat ini dan proses regenerasi perekayasan yang berjalan, Suhermanto yakin Indonesia mampu menguasai teknologi satelit secara mandiri dalam segala aspek, baik produksi maupun pengoperasiannya. Namun, itu butuh dukungan negara dan lembaga lain. Teknologi satelit tak mudah, tak murah, dan tak bisa instan.
Tantangan yang harus segera dijawab adalah menguasai teknologi roket yang bisa untuk meluncurkan satelit. Teknologi roket memang tertutup, tak ada negara yang mau membagikan karena bisa untuk perlombaan senjata. Karena itu, Indonesia harus merebutnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR