Tetapi di sisi lain, ini mengakibatkan tiga titik Aristophanes yang pertama kali melahirkan tanda baca, jadi tersingkir. Simbol-simbol yang lebih spesifik terus diciptakan.
Perbedaan antara titik rendah, sedang dan tinggi jadi tidak jelas, dan akhirnya yang tersisa adalah titik sederhana yang bisa ditempatkan di mana saja pada suatu kalimat untuk menunjukkan jeda - campuran adonan dari koma, titik koma dan titik. Si titik yang rendah hati itu makin mendapat tekanan lagi ketika abad ke-12 penulis Italia bernama Boncompagno da Signa mengusulkan sistem tanda baca yang sama sekali baru yang terdiri dari hanya dua tanda: garis miring (/) berarti jeda, sedangkan tanda datar (-) menghentikan kalimat.
Tapi nasib lambang-lambang bikinan da Signa ternyata suram - apakah menjadi atau tidak menjadi nenek moyang tanda garis datar seperti yang mengurung kalimat ini - tetapi garis miring atau virgula suspensiva, adalah sebuah sukses besar. Tanda garis miring itu kompak dan tampak beda, dan segera menyingkirkan sistem Aristophanes terakhir yang memiliki fungsi umum koma atau jeda.!break!
Inilah yang kemudian menjadi bentuk tanda baca pada puncak Renaisans: perpaduan antara titik Yunani kuno; titik dua, tanda tanya, dan tanda lainnya yang berasal dari simbol abad pertengahan; dan sejumlah pendatang baru seperti garis miring dan garis datar.
Sekarang ini para penulis cukup nyaman dengan ketentuan tanda baca yang ada. Sungguh mujur, karena ketika percetakan mulai tiba di pertengahan 1450-an, dengan penerbitan Alkitab 42 baris oleh Johannes Gutenberg, tanda baca, di luar dugaan, mendadak mandek.
Dalam 50 tahun, sebagian besar simbol yang kita gunakan saat ini yang dicetak dengan dengan timah cor, tidak pernah berubah lagi: garis miring dari Boncompagno da Signa turun derajatnya lalu menjadi koma modern, mewarisi nama Yunani lama seperti sebelumnya; titik koma dan tanda seru bergabung dengan titik dua dan tanda tanya; dan titik-titik Aristophanes mendapatkan kedudukan terakhir sebagai titik. Setelah itu evolusi tanda baca berhenti mati, dihadang oleh standarisasi yang diberlakukan oleh percetakan.
Baru sekarang, dengan komputer yang menyebar jauh lebih luas ketimbang mesin cetak, tanda baca kembali menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
Para penulis abad ke-15 mungkin tak akan menemui kesulitan dalam mengidentifikasi tanda-tanda baca yang menghuni papan ketik komputer, tetapi mereka mungkin sedikit lebih terpana oleh emoticon dan emoji yang telah bergabung dengan tanda baca di layar kita.
Tanda baca, ternyata, tidak mati. Tanda baca itu hanya menunggu gerbong teknologi yang bisa mengangkutnya serta. Sekarang kita telah menemukannya. Terserah kita lagi, pembaca dan penulis untuk memutuskan bagaimana kita akan memberi tanda baca pada kata-kata kita untuk 2.000 tahun ke depan.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR