Elite politik di Indonesia dinilai mengabaikan dampak buruk akibat rokok pada generasi muda Indonesia. Mereka lebih mengutamakan kepentingan pribadi daripada kepentingan bangsa. Masa depan bangsa dipertaruhkan.
Demikian penilaian sejumlah tokoh yang berkumpul di Jakarta, Rabu (30/9), terhadap situasi yang berkembang belakangan ini, terutama terkait Rancangan Undang-Undang Pertembakauan dan RUU Kebudayaan yang memasukkan pasal kretek.
Pertemuan itu dihadiri sejumlah tokoh di antaranya mantan Menteri Lingkungan Hidup Emil Salim, mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif, dan Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Komaruddin Hidayat. Turut hadir Guru Besar Universitas Indonesia Imam B Prasodjo, sastrawan Taufik Ismail, mantan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Fasli Djalal, dan mantan Menteri Kesehatan Farid Anfasa Moeloek.
Emil Salim mengatakan, elite politik seperti ragu berpihak kepada rakyat, bahkan cenderung permisif dengan dampak buruk rokok yang dialami masyarakat. "Hadirnya RUU Pertembakauan dan menyusupnya pasal kretek dalam RUU Kebudayaan jadi contoh gamblang betapa kekuatan uang meracuni kehidupan politisi kita sekarang," ujarnya.
Bersama dengan narkoba dan minuman keras, rokok menjadi racun bagi masyarakat, terutama generasi bangsa yang dalam 30 tahun ke depan akan memimpin negeri ini. Sikap permisif elite politik terhadap dampak buruk rokok juga bisa merusak pola pikir generasi muda.
Buya Syafii Maarif mengatakan, rakyat miskin jadi korban akibat rokok. Sementara yang meraup keuntungan dari rokok adalah pengusaha rokok. "Apa kita masih punya masa depan jika elite politik belum siuman terhadap bahaya ini," ujarnya.
Ketua Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LDUI) Sonny Harry Budiotomo Harmadi menyampaikan, menurut riset LDUI, 13 persen pengeluaran keluarga miskin untuk rokok. Itu belanja kedua terbesar setelah belanja makanan pokok (19 persen).
Maka dari itu, kunci pengendalian konsumsi rokok adalah meningkatkan cukai rokok lebih tinggi dari pertumbuhan pendapatan penduduk agar rokok tak terjangkau anak-anak dan remaja. Selain itu, pemerintah diminta mengaksesi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (FCTC), menerapkan kawasan tanpa rokok, dan melarang penjualan rokok kepada anak. (ADH)
Penulis | : | |
Editor | : | Dini Felicitas |
KOMENTAR