Beberapa orang tampak mengerumuni sebuah kotak kecil, bergantian mereka mengintip ke dalam kotak tersebut. Setelah melongok ke dalam kotak, mimik mereka tampak sedih, masing-masing mengatakan satu kata dari tiga kata bahasa Jerman, "Was", "Loesung","Ordnung" yang berarti, apa, penyelesaian, dan tertib.
Melalui sebuah kamera mini kemudian terungkap itu merupakan kotak kehidupan seorang pria dan seekor burung. Penonton dapat menyaksikan gerak boneka pria yang tampak tertekan itu melalui layar.
Inilah Senlima, sebuah pertunjukkan kolaborasi antara kelompok teater boneka dari Yogyakarta Papermoon dan Refuturisten, sebuah teater independen dan teater boneka dari Berlin Jerman.
Pertunjukkan ditangani dua sutradara, Maria Tri Sulistyani dari Papermoon Puppet dan Roscha A Saidow dari kelompok Refuturisten, memunculkan permainan boneka, manusia -sebagai aktor dan dalang penggerak boneka, dan video.
Senlima adalah kata yang berasal dari bahasa Esperanto yang berarti tanpa batas.
Sutradara Roscha A Saidow memapar perjalanan tanpa batas si boneka lelaki.
“Perjalanan tanpa batas ini ditunjukkan pria itu dengan mengatasi rasa takutnya, dia butuh keluar begitu juga burung miliknya, pergi ke dalam dunia di mana ada peraturan lain yang berlaku, dan berupaya untuk berkawan dengan mahluk lain yang berada di sana,” jelas Roscha.
Perjalanan tanpa batas juga ingin ditunjukkan Roscha A Saidow, melalui gabungan berbagai format yang berbeda dalam Senlima, yang menampilkan karakter manusia, boneka pria, perempuan serta burung, juga pemakaian kamera video dan layar proyektor.
Boneka pria, tokoh utama pertunjukkan ini digambarkan sebagai sosok canggung dan tertekan -situasi yang muncul dari perasaan ditolak oleh lingkungan.!break!
“Ketika dia keluar (dari kotak) itu dia betemu dengan banyak sekali orang, bertemu dengan kehidupan yang lain. Itu jadi tantangan juga: (perasaan) takut, segala macam itu semua ada di situ, “ kata Maria Tri Sulistyani sutradara dari Papermoon Puppet yang mendirikan kelompok itu bersama Iwan Effendi.
Senlima yang pertama kali dipentaskan di Yogyakarta bertepatan dengan 50 tahun pembunuhan massal 1965 itu, kata Maria, bisa dapat ditafsirkan berkaitan dengan keterasingan yang dialami banyak orang yang dicap kiri, akibat stigmatisasi dan penolakan terhadap para korban ataupun tahanan politik oleh keluarga dan lingkungan setelah lepas dari tahanan.
Tetapi, kata Maria, kisah pria itu tidak menawarkan tafsir tunggal. Situasi seperti itu, penolakan karena stigmatisasi sebuah kekuatan besar, banyak terjadi di dunia.
“Misal ya, ini misalnya ya, banyak sekali orang-orang tua yang tidak diterima oleh keluarganya, karena tidak mau berhubungan dengan tapol atau eks tapol. Sejarah seperti itu banyak terjadi di dunia,” jelas Maria.
Andalkan Lanskap Geologis yang Mirip Indonesia, Malaysia Siap Tarik Investasi Rp160 Triliun dari Proyek Karbon
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR