Kehamilan yang tidak direncanakan kerap mendasari pernikahan terburu-buru. "Ketika seorang anak perempuan hamil, ia harus menikah," kata kepala desa.
Umur tidak menjadi masalah. "Tidak apa-apa bagi perempuan untuk menikah pada usia 15 tahun. Hal ini sangat disayangkan. Namun, masih banyak orang di dalam komunitas kami yang mendukung pandangan ini," katanya.
Intan mengatakan, "Karena saya hamil, saya diizinkan untuk menikah". Ia mengatakan bahwa hari pernikahannya “seperti kabur”.
Sejak meninggalkan sekolah, Intan menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah. "Saya ingin kuliah seperti saudara-saudara saya lainnya," katanya.
"Sekarang saya tidak bisa menentukan impian saya. Sulit untuk membayangkannya." !break!
Sulit bagi kebanyakan pengantin anak di Sulawesi Barat untuk membicarakan masa depan. Setelah menikah, kegiatan mereka hampir seluruhnya dipusatkan pada tugas-tugas rumah tangga.
Penerimaan sunyi
Belajar dan berkembang berubah menjadi memasak dan memelihara kebersihan. Kasus serupa juga terjadi pada Dina di Desa Mahara.
Tahun yang lalu, ia duduk di bangku kelas III SMA. Peluang setelah lulus tampak terbuka luas. Namun, atas dorongan dari keluarganya, Dina meninggalkan sekolah dan menikah dengan seorang montir.
"Ibu saya juga menikah muda," kata Dina di ruang tamu rumah barunya.
Hari-harinya sangat berbeda dengan ketika ia masih menjadi pelajar. "Sekarang saya menyiapkan semua makanan untuk keluarga saya. Saya melakukan semua pekerjaan rumah."
Dia kemudian mengerjakan tugas tambahan menjadi seorang ibu baru. "Suami saya tidak mengurus anak kami sehingga saya juga bertanggung jawab untuk mengurusnya."
Bukan keinginan Dina untuk mengalami transisi yang tidak mulus untuk menjadi orang dewasa. Kadang-kadang ia memikirkan kembali apa yang telah terjadi. "Saya ingin kembali ke sekolah. Mungkin setelah setahun," katanya.
Namun, untuk saat ini, yang ia pikirkan adalah apa yang harus ia siapkan untuk makan malam. "Saya senang memasak ikan dan sayuran."
Ada penerimaan yang sunyi dari kasus Ayu, Sari, Dewi, Intan, dan Dina. Masyarakat tampaknya menerima saja perkawinan usia anak sebagai bagian dari struktur sosial.
Dampak dan akibat dari perkawinan usia anak jarang dibicarakan. Keprihatinan, apalagi ketidaksetujuan terhadap dampak perkawinan anak, tampaknya tidak mengemuka pada masyarakat Sulawesi Barat.
Jika "kesunyian" ini tidak segera dipecahkan, maka keadaan tersebut akan terus berlanjut untuk waktu yang sangat lama.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR