Desa-desa kecil yang tak terhitung jumlahnya memagari garis pantai Pulau Sulawesi. Deretan rumah panggung berjajar di antara pantai-pantai indah dan hutan hijau yang membentang.
Namun, pemandangan indah ini sesungguhnya menyimpan krisis tersembunyi. Sulawesi Barat cukup mengkhawatirkan dalam hal tingkat perkawinan usia anak-anak.
Provinsi ini memiliki prevalensi terbesar di Indonesia untuk anak perempuan yang menikah pada usia di bawah 15 tahun. Masa kecil anak-anak perempuan hilang setiap harinya karena berbagai alasan, seperti budaya, agama, dan ekonomi.
Ayu, bukan nama sebenarnya, adalah salah satu di antara anak-anak perempuan tersebut. Perempuan belasan tahun bersuara lembut ini tinggal di sebuah desa pertanian sepi, sebut saja Desa Amara.
"Ibu dan nenek saya keduanya menikah pada usia 14 tahun," katanya.
Tradisi keluarga berjalan terus. "Saya berusia 15 tahun ketika saya menikah dan suami saya, Ganes, yang berusia 23 tahun."
Ayu dan Ganes menikah di kantor urusan agama (KUA) setempat. Ayu memalsukan usianya. Pemalsuan seperti ini merupakan praktik biasa di desanya karena sebagian besar anak tidak memiliki akta kelahiran.
"Saya hanya mengatakan kepada mereka, saya berusia 18 tahun," katanya.
Para tokoh agama setempat tampaknya tidak melihat usia sebagai penghalang pernikahan. "Apakah anak telah akil balig atau belum ketika mereka berusia sembilan tahun, mereka sudah seharusnya bisa menikah," kata salah seorang tokoh agama.
"Pemerintah hanya mengizinkan orang untuk menikah (pada usia dewasa), yang menurut saya tidak sepenuhnya benar," tambah dia. !break!
Dengan restu seorang tokoh agama, pasangan Ayu dan Ganes memasuki kehidupan perkawinan bersama. Ayu segera hamil, yang disusul retaknya hubungan mereka. "Kami mulai bertengkar," kata Ayu.
Perdebatan sengit semakin biasa terjadi. "Suatu hari, Ganes berkemas dengan tasnya dan meninggalkan rumah," kenang Ayu.
Tak lama kemudian, Ayu melahirkan dan menjadi orangtua tunggal. Rencana sekolah, pekerjaan, dan masa depan, semuanya harus dikesampingkan.
Sambil mengayun-ayunkan anaknya agar tertidur, wajah Ayu terlihat lesu. "Saya baik-baik saja sekarang, tetapi saya sering marah," katanya.
Satu suami dua istri
Sari dan Dewi adalah dua anak perempuan dari desa tetangga yang bernama Kenanga. Keduanya tumbuh bertetangga, dan hanya dipisahkan sebidang sawah.
Mereka berbagi masa kecil bersama, sekolah, hobi, dan olahraga. Kehidupan keduanya berubah dramatis ketika pada tahun lalu menikah dengan laki-laki yang sama.
Ibu kandung Dewi mengeluh. Ia mengaku awalnya berharap banyak pada pernikahan anak perempuannya yang berusia 15 tahun dengan seorang laki-laki berusia 25 tahun bernama Hazar.
"Kami tidak bisa membeli pakaian dan hal-hal lain yang ia perlukan," kata Ibu Dewi. "Saya kira nasibnya akan menjadi lebih baik jika ada orang yang merawatnya."
Namun, pernikahan mereka tidak berlangsung lama. Segera setelah pernikahan, Hazar memutuskan untuk pindah ke tempat lain di Indonesia.
Warga desa berpikir Hazar bekerja di Kalimantan. Hazar tidak hanya meninggalkan istri-istri barunya, tetapi juga anak laki-laki dari kedua istrinya itu. !break!
Sari dan Dewi sekarang menghabiskan hari-hari mereka dengan menjalani kehidupan sebagai ibu, jauh sebelum waktunya. Tanggung jawab dan beban kerja sering kali melampaui kemampuan mereka.
Sari mengatakan bahwa ia merindukan kehidupan lamanya. "Saya lebih senang menjadi pelajar daripada (menjadi) ibu," katanya sambil menggendong sang putra. "Ketika saya masih di sekolah, semuanya lebih baik."
Hal yang sama juga dirasakan Intan, yang tinggal di Desa Tambala. Perempuan berusia 16 tahun ini memiliki latar belakang yang sangat berbeda dengan banyak pengantin anak lainnya di daerah tersebut.
Tabu bicara seks
Intan berasal dari keluarga yang sangat kaya. Awal tahun lalu, dia menjalin hubungan cinta dengan seorang anak laki-laki bernama Amet.
Berawal dari pertukaran pesan teks sederhana, hubungan mereka kemudian berkembang dengan cepat menjadi sesuatu yang lebih serius. Singkat cerita, Intan hamil.
"Saya tidak tahu jika hubungan seks dapat menyebabkan kehamilan," kata Intan.
Ini merupakan pengakuan umum anak-anak perempuan di Sulawesi Barat. Bahkan, mereka yang berada di penghujung masa remaja juga tidak memahami seks.
Tabu membicarakan seks, khususnya pergaulan bebas (seks di luar nikah), berarti bahwa masalah tersebut jarang dibicarakan.
Kehamilan yang tidak direncanakan kerap mendasari pernikahan terburu-buru. "Ketika seorang anak perempuan hamil, ia harus menikah," kata kepala desa.
Umur tidak menjadi masalah. "Tidak apa-apa bagi perempuan untuk menikah pada usia 15 tahun. Hal ini sangat disayangkan. Namun, masih banyak orang di dalam komunitas kami yang mendukung pandangan ini," katanya.
Intan mengatakan, "Karena saya hamil, saya diizinkan untuk menikah". Ia mengatakan bahwa hari pernikahannya “seperti kabur”.
Sejak meninggalkan sekolah, Intan menghabiskan sebagian besar waktunya di rumah. "Saya ingin kuliah seperti saudara-saudara saya lainnya," katanya.
"Sekarang saya tidak bisa menentukan impian saya. Sulit untuk membayangkannya." !break!
Sulit bagi kebanyakan pengantin anak di Sulawesi Barat untuk membicarakan masa depan. Setelah menikah, kegiatan mereka hampir seluruhnya dipusatkan pada tugas-tugas rumah tangga.
Penerimaan sunyi
Belajar dan berkembang berubah menjadi memasak dan memelihara kebersihan. Kasus serupa juga terjadi pada Dina di Desa Mahara.
Tahun yang lalu, ia duduk di bangku kelas III SMA. Peluang setelah lulus tampak terbuka luas. Namun, atas dorongan dari keluarganya, Dina meninggalkan sekolah dan menikah dengan seorang montir.
"Ibu saya juga menikah muda," kata Dina di ruang tamu rumah barunya.
Hari-harinya sangat berbeda dengan ketika ia masih menjadi pelajar. "Sekarang saya menyiapkan semua makanan untuk keluarga saya. Saya melakukan semua pekerjaan rumah."
Dia kemudian mengerjakan tugas tambahan menjadi seorang ibu baru. "Suami saya tidak mengurus anak kami sehingga saya juga bertanggung jawab untuk mengurusnya."
Bukan keinginan Dina untuk mengalami transisi yang tidak mulus untuk menjadi orang dewasa. Kadang-kadang ia memikirkan kembali apa yang telah terjadi. "Saya ingin kembali ke sekolah. Mungkin setelah setahun," katanya.
Namun, untuk saat ini, yang ia pikirkan adalah apa yang harus ia siapkan untuk makan malam. "Saya senang memasak ikan dan sayuran."
Ada penerimaan yang sunyi dari kasus Ayu, Sari, Dewi, Intan, dan Dina. Masyarakat tampaknya menerima saja perkawinan usia anak sebagai bagian dari struktur sosial.
Dampak dan akibat dari perkawinan usia anak jarang dibicarakan. Keprihatinan, apalagi ketidaksetujuan terhadap dampak perkawinan anak, tampaknya tidak mengemuka pada masyarakat Sulawesi Barat.
Jika "kesunyian" ini tidak segera dipecahkan, maka keadaan tersebut akan terus berlanjut untuk waktu yang sangat lama.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR