“Masih setengah jalan lagi,” ujar Amar memprediksi sisa waktu tempuh kami. Perlahan kami meninggalkan Parinding dan Banti, dua desa yang masih memiliki infrastruktur yang memadai, jalan yang kami lalui selama 30 menit adalah aspal dan masih terdapat rumah-rumah warga yang memadati desa keduanya.
Tetapi bersiaplah ketika Anda mulai melihat papan penunjuk arah menuju Desa Kadingeh. ‘Batu sebesar mobil’ yang dikisahkan Amar bukanlah hiperbola. Tak jarang kami harus bergelantungan pada atap mobil agar tak terlempar ke kanan atau ke kiri. Guncangan demi guncangan kami rasakan setiap kali mobil menukik dengan berani. Sekadar tips bagi Anda yang tidak terbiasa dengan guncangan-guncangan hebat pastikan tidak mengisi perut terlalu penuh untuk mengurangi rasa mual.
Berbeda dengan posisi duduk kawan-kawan, saya memutuskan untuk berselonjor di bangku belakang dan membelakangi mereka. Sedikit lebih nyaman duduk di posisi ini, sembari menikmati mobil yang terus bergoyang, saya dapat mengamati jalan yang perlahan kami tinggalkan. Berbeda dengan dua desa sebelumnya, Kadingeh bukanlah desa yang padat penduduk. Selama melewati desa ini jarang saya temukan rumah warga yang bertengger, melainkan hewan-hewan ternak yang sedang berteduh dari terik matahari. Perjalanan ini lekat dengan debu dan tanah kering yang berhamburan oleh gesekan kaki-kaki mesin tua yang kami kendarai, meski demikian menjadi bumbu yang menggugah semangat perjalanan kami sebagai seorang petualang.
Masih 500 meter lagi jalan yang harus ditempuh menuju mulut Gua Bubau. Dibutuhkan kehati-hatian untuk menerobos semak belukar yang menghadang. (Sekar Rarasati)
Ujung jalan menjadi pemberhentian kami selanjutnya. Tepat di pos ini kami meninggalkan mobil untuk menuju mulut Lo’ko Bubau, kurang lebih sekitar 500 meter lagi yang harus kami tempuh dengan berjalan kaki. Dituntut harmonisasi antara derap langkah dan pandangan mata untuk menerobos semak belukar yang menghadang. Suara air yang mengalir deras terdengar tak jauh dari lokasi ini. Hal lain yang menarik perhatian kami adalah hamparan lahan yang hangus terbakar. “Dua minggu lalu saya datang belum terbakar seperti ini,” ujar Darwin, warga Baraka yang bersedia memimpin kami untuk menyusuri Lo’ko Bubau. Semestinya lokasi ini menjadi bagian dari 40% kawasan lindung yang dikonservasi oleh Pemerintah, tetapi pemandangan sekitar menunjukkan lemahnya pengawasan.
Penulis | : | |
Editor | : | Faras Handayani |
KOMENTAR