Ada sekitar 380 bahasa daerah yang berhubungan dengan etnik terancam punah. Ini ditandai dengan hanya dipakainya bahasa daerah menjadi bahasa lisan.
Menurut Guru Besar Fakultas Ekonomi UI Prof Sri Edi Swasono dalam paparan Diskusi Panel Serial (DPS) dengan tema seri ke tiga "Sejarah Peradaban dan Pancasila" yang diselenggarakan Yayasan Suluh Nuswantara Bakti di Jakarta Convention Centre, Sabtu (7/11/2015), Jika sebuah bahasa sudah dijadikan bahasa lisan, maka sangat besar kemungkinan akan segera punah, seiring habisnya satu generasi pengguna bahasa tersebut.
Ia mengatakan bahwa etnik adalah bukti bahwa Indonesia memang benar-benar bhinneka tunggal ika. Karena itu keberadaannya harus tetap dipertahankan.
Sementara pada kesempatan yang sama pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bhakti Pontjo Sutowo mengatakan survei demografi (kependudukan) di Indonesia nyaris tidak pernah memberikan informasi nyata tentang kondisi etnik seperti suku, agama, ras dan golongan. Padahal informasi terkait keberadaan etnik amat penting untuk menggambarkan keragaman dan kebinekatunggal ikaan masyarakat Indonesia.
"Hal-hal yang berbau etnik sering dihindari karena takut berhubungan dengan SARA," kata Pontjo.
Menurut Pontjo, menghindari kajian obyektif tentang etnik jelas bukan merupakan kebijakan yang tepat. Dengan kebijakan yang tidak tepat itu bukan saja kita tidak mengenal dinamika mobilitas etnik, tetapi juga menyebabkan kita tidak dapat mengantisipasi risiko yang timbul dari kemajemukan etnik, termasuk merancang pembangunan dengan semangat kebersamaan bagi suatu bangsa.
Pontjo mengingatkan bahwa keseluruhan wacana para pendiri negara pada 1945 pada dasarnya berupaya mencari format kehidupan berbangsa dan bernegara yang mampu mewadai, memayungi serta mendayagunakan seluruh potensi etnik. Upaya ini sudah terwadahi dalam Pembukaan UUD 45 meski sejumlah masalah juga masih terus timbul.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR