Pulau Biak, tempat Wakum menghabiskan hampir seluruh hidupnya, adalah tempat pertempuran sengit Perang Dunia II ketika Jenderal Douglas MacArthur berkampanye untuk merebut kembali Pasifik barat dari pasukan Jepang. Ada ribuan korban di kedua belah pihak.
Sekitar 150 tentara Amerika yang tewas dalam pertempuran di Biak tidak pernah ditemukan. "Mereka termasuk di antara sekitar 1.900 tentara AS yang diyakini tewas di Indonesia selama perang dan jenazahnya masih hilang," sambung Dera dan Richard.
Selama beberapa dekade, Wakum dan kolektor lainnya telah menyisir medan perang (Biak) dan pulau-pulau terdekatnya. Tak jarang, mereka menemukan senjata, amunisi dan tulang belulang (diduga adalah para tentara yang tewas).
Wakum mengaku telah menemukan 30 dogtag milik tentara Amerika, memakai beberapa rantai di lehernya.
Tahun 2020 lalu, pemerintah Amerika Serikat dan Indonesia telah membangun kesepakatan untuk melakukan operasi bersama dalam misi menemukan dan memulangkan sisa-sisa tentara Amerika yang hilang selama berperang di seluruh kepulauan Biak.
Belakangan, Wakum dan saudaranya, Firaun Koibur (39), menggeledah daerah berbatu karang di mana tentara Amerika diyakini telah berkemah selama berbulan-bulan ketika pertempuran Asia Pasifik di Biak.
"Di sana, tergeletak di depan mata, adalah tanda anjing dari seorang tentara Amerika, Fred W. O'Connor dari Schenectady, New York," imbuhnya.
Baca Juga: Berebut Ladang Minyak, Lelakon Perang Dunia Kedua di Kilang Palembang
Keluarga O'Connor di New York, terkejut mengetahui penemuan dog tag yang hilang lebih dari 75 tahun setelah perang. Menurut laporan keluarganya, O'Connor bertugas di infanteri dalam kampanye Papua, Papua Nugini, dan Filipina Selatan.
"O'Connor telah berpartisipasi dalam serangan besar yang heroik, tanpa pernah terluka. Dia meninggal di California, Amerika Serikat pada tahun 2004 pada usia 83 tahun," lanjut Dera dan Richard.
Sebelum pandemi, banyak pengunjung Jepang dan beberapa orang Amerika datang ke Biak. Mereka bertekad mencari informasi tentang kerabat yang berjuang di sana. Penyelam juga datang untuk menjelajahi kapal-kapal yang karam dan pesawat yang jatuh di lepas pantai.
Sebagaimana telah diketahui, Kepulauan Indonesia merupakan koloni Belanda ketika Jepang menyerbu dan mendudukinya pada tahun 1942. Pasukan Sekutu melancarkan serangan mereka ke Biak pada Mei 1944.
Pertempuran berlanjut selama tiga bulan sebelum pasukan Sekutu merebut pulau itu, yang kemudian menjadi pangkalan udara penting. untuk menyerang benteng Jepang.
Graversen, seorang arkeolog, meninjau foto-foto 125 dog tag yang ditemukan oleh Wakum dan kolektor lainnya. "Dari sekian banyak. hanya satu yang diidentifikasi sebagai milik seorang prajurit yang jenazahnya masih hilang, Sersan Louis L. Medina dari New Mexico," ungkapnya.
"Sersan itu melakukan pengeboman dari Biak pada bulan Juli 1944, tetapi, pesawatnya ditembak dan jatuh ke laut, ratusan mil jaraknya dari Biak," tambah Gravesen.
Baca Juga: Editorial Edisi Agustus 2020: Relik Suram Pascaperang Asia Timur Raya
Pesawat dan enam awaknya masih belum ditemukan. Kemungkinan besar dia kehilangan dog tag-nya di beberapa titik saat ditempatkan di pulau itu.
Yusuf Rumaropen, 59 tahun, memulai sebuah museum di Biak pada tahun 1985. Pamerannya menampilkan pesawat Jepang yang terlantar, tiga jip, senapan mesin, mortir, dan lebih dari 1.000 barang lainnya, banyak dipajang di luar ruangan.
Mengetahui sebuah pesawat yang jatuh di hutan terpencil, ia menemukan bangkainya pada tahun 1980. Kerangka pilot masih berada di kokpit, dan Rumaropen melepaskan cincin dari jarinya. Nama pilot, WE. Frankfort, terukir di dalamnya.
Butuh waktu hampir satu dekade, sampai berita tentang penemuan cincin pilot Amerika Serikat tersiar ke Angkatan Darat Indonesia. Seorang petugas menyitanya dan menyerahkannya kepada pejabat Amerika.
Secara kooperatif, Angkatan Darat Indonesia juga meminta bantuan Rumaropen untuk menemukan puing-puing pesawat, lalu menemukannya bersama dengan jenazah pilot di kokpitnya, pada tahun 1994.
Baca Juga: Film 'Onoda', Kisah Nyata Gerilya Tentara Jepang Meski Perang Usai
Source | : | The New York Times |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR