Dinosaurus yang baru ditemukan ini bernama Hualianceratop wucaiwanensis (“wajah hias”) karena alur-alur di wajahnya. Fosilnya diperkirakan berusia sekitar 160 juta tahun. Penemuan tersebut diterbitkan dalam jurnal PLOS ONE rabu lalu, menjadikan spesies ini salah satu Ceratopsian—grup dinosaurus termasuk Triceratop—yang pernah ditemukan.
Meskipun namanya Hualianceratop “hias”, para peneliti tidak mengetahui apa fungsi dari tonjolan tulang tersebut. Akan tetapi penulis kedua studi, Jim Clark dari George Washington University menduga mereka merupakan peninggalan evolusi dari nenek moyang Ceratopsian, yang juga menjadi bapak si kepala menonjol Pachycephalosaurus.
“Ini sangat aneh,” kata Nick Longrich, seorang ahli paleontologi di University of Bath, yang tidak terlibat penelitian. Kerabat Triceratop lain juga memiliki tengkorak dengan benjolan, “tapi yang satu ini benar-benar ekstrim.”
Longrich, menduga bahwa alur tengkorak Hualianceratop dapat melindungi pembuluh darah di wajah dari cedera. Ia mencatat benjolan mirip tulang pada tengkorak jerapah dan muskox, yang berkelahi dengan sesamanya demi pasangan dan teritorial.
“Hualianceratop memang hewan kecil, tapi bahkan hewan yang sangat kecil bisa sangat agresif,” tambahnya.
Studi menggambarkan Hualianceratop juga menata ulang pohon keluarga dinosaurus, menunjukkan setidaknya lima garis keturunan berbeda Ceraptosian berjalan di Bumi lebih dari 150 juta tahun lalu dalam sebuah ledakan tiba-tiba di awal diversifikasi dinosaurus.
“Itu menunjukkan betapa sedikit yang kita ketahui dan begitu banyak yang tersisa untuk ditemukan, terutama di era Jurasik,” ujar Clark, yang melakukan penelitian dengan dukungan National Geographic Society.
Fosil itu pertama kali ditemukan pada tahun 2002 oleh tim ekspedisi gabungan China-Amerika ke barat laut formasi Shishugou China, sebuah situs bertanggal akhir Jurasik. Kunjungan sebelumnya telah menghasilkan banyak sisa-sisa Yinlong downsi, leluhur sepupu Triceratop seukuran domba yang berjalan di atas dua kaki dan menggigiti tumbuhan dengan rahangnya yang seperti paruh beo.
Tapi di antara sisa-sisa Yinlong, peneliti menemukan tengkorak misterius dan diawetkan dengan buruk, serta bagian tulang kaki. Pada saat itu, fosil eksentrik ini menimbulkan kecurigaan samar di antara ahli paleontologi, tapi mereka teralihkan pada penemuan Yinlong di Beijing’s Institute for Vertebrate Paleontology and Paleoanthropologi, yang menyibukkan mereka selama 12 tahun.
Pada tahun 2014, Fenglu Han dari Chinese University of Geosciences menguji ulang sisa-sisa penelitian Ph.D-nya dan menemukan bahwa tulang-tulang itu menyembunyikan rahasia tambahan. Permukaan tengkorak bergerinjal, memiliki alur, benjolan dan tutul-tutul membentuk tekstur tulang yang lebih ekstrim dibanding Yinlong. Jika diamati lebih dekat, pada rahang spesimen tampak lebih berdaging dibandingkan rahang Yinlong.
Dengan cepat Han menyadari bahwa tengkorak tersebut milik spesies baru yang berkerabat erat dengan Yinlong. Ini menjadi semacam ‘ilham’ yang membuat Han dan rekan-rekannya begitu bersemangat mengetahui spesies-spesies baru apakah yang masih bersembunyi di museum-museum dunia.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR