Perang selalu menghadirkan ancaman dan bayang-bayang mengerikan. Korbannya bisa siapa saja. Termasuk anak-anak yang terpaksa harus hidup dalam ketakutan, menelan kegetiran karena harus menyaksikan hal-hal keji di usia mereka yang begitu muda. Anak-anak itu didera trauma berkepanjangan, ditambah lagi minimnya dukungan psikologis yang diberikan pada mereka.
Organisasi Project Liftingin mengubah hal itu. Para terapis dan sukarelawan bekerja menolong anak-anak terdampak perang yang menganggap segala sesuatu merupakan ancaman.
Amal, bocah perempuan berusia 9 tahun, tak lagi bersekolah. Namun minggu ini, ia akan mengingat lagi bagaimana rasanya berada di ruang kelas.
Ketika perang mengoyak negaranya, dunia Amal seakan runtuh. Seperti lebih dari 2 juta warga Suriah lainnya, ia dan keluarganya melarikan diri ke Turki dengan harapan menemukan perlindungan dari pertumpahan darah yang sekarang telah memasuki tahun kelima.
Tidak ada serangan udara di sini, di Istanbul, di mana Amal sekarang tinggal. Tidak ada pos pemeriksaan atau suara tembakan beruntun. Dibandingkan dengan kotanya dulu, Aleppo—yang sebagian besar hancur oleh peluru dan bom barel, Istanbul memang tempat terlindung.
Namun bagi banyak anak-anak pengungsi Suriah seperti Amal, perang masih di mana-mana. Sementara itu, akses terhadap dukungan psikologis masih langka, begitu pula akses untuk pendidikan.
Seorang ibu dan anaknya dari Turki, bersama dengan sebuah tim terapi terlatih dan hampir 200 relawan yang tergabung dalam Project Lift, mencoba untuk mengubah hal tersebut.
“Anak-anak ini berada dalam mode bertahan hidup," kata Leyla Akca, terapis klinis dan penasihat utama dari organisasi yang berbasis di Istanbul. “Mereka menganggap segala sesuatu sebagai ancaman. Kemampuan mereka untuk percaya, mengkhayal dan menjadi kreatif telah ditutup."!break!
Project Lift memberikan dukunan psikososial kepada anak-anak pengungsi Suriah yang trauma. Beberapa di antara mereka menderita gejala gangguan stress pasca trauma. Anggota Project Life juga berupaya untuk menyatukan anak-anak Suriah dengan masyarakat setempat.
Didirikan pada 2014 oleh remaja berusia 16 tahun, Emir Özsüer, dengan bantuan ibunya, Esra, organisasi ini telah berkembang pesat. Kumpulan relawan Turki, Suriah maupun internasional—yang semuanya harus melalui 16 jam pelatihan trauma sebelum diizinkan bekerja dengan anak-anak—kini tumbuh semakin besar.
Akan tetapi, organisasi ini juga menghadapi hambatan serius: pendanaan, birokrasi negara dan kurangnya sumber daya yang diperlukan untuk mengatasi kebutuhan sejumlah anak-anak yang mengalami trauma.
Mereka memerlukan lebih banyak penutur berbahasa Arab, untuk menjawab sejumlah pesan ataupun telepon dari orangtua-orang tua yang panik dan putus asa untuk bantuan dan bersemangat membahas kesehatan mental anak-anak mereka. Setelah workshop, staf mencoba untuk menindaklanjuti anak-anak yang paling trauma di rumah mereka.
Banyak orangtua sendiri yang mengaku sangat tidak mungkin untuk mengarahkan sistem pendidikan tanpa kemampuan bahasa setempat. Memang ada sekolah khusus berbahasa Arab, tapi tanpa sarana hukum untuk bekerja di Turki, banyak pengungsi yang tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah itu.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR