Di tepi jalan raya Karangsong, Indramayu, Jawa Barat, terdapat galangan kapal dan tempat pembuatan perahu nelayan. Di bantaran Sungai Praja Gumiwang, kapal-kapal kayu buatan Karangsong umumnya berukuran di atas 30 grosston.
Di atas tanah, kapal 30 GT seukuran rumah tipe 45. Tingginya melampui atap rumah, panjang lunas 18 meter. Para tukang kayu menggarap kapal di tepi jalan raya, berdampingan dengan warung-warung makan. Di sejumlah tempat, kayu-kayu panjang dan lurus tergeletak di pinggir jalan. Kayu panjang nan lurus itu bakal menjadi lunas kapal. Puluhan lembar papan kayu setebal tiga jari berjajar-jajar.
Tak mengherankan, saat melintasi jalan desa, industri kapal kayu Karangsong meninggalkan kesan dan pertanyaan bagi siapa pun. Mobil dan sepeda motor nampak mungil dibandingkan kapal-kapal megah itu. Beberapa kapal yang sudah selesai mengapung ringan di Sungai Praja Gumiwang.
Bahan baku kapal didatangkan dari Surabaya, Jawa Timur. Dulu kapal terbuat dari kayu jati mutu tinggi. Kini, saat kayu jati makin sulit, para pembuat kapal memakai kayu merbau.
Kayu-kayu dari Papua itu diperoleh dari pelabuhan Surabaya. Biasanya tukang dan pemesan kapal akan datang ke kota pahlawan itu, dan membeli kayu sesuai kebutuhan. Dari Surabaya, kayu-kayu diangkut dengan truk trailer. Perjalanan ke Karangsong ditempuh selama lima hari.
Untuk ukuran kapal 30 GT biasanya dipasangi penggerak dari mesin truk Fuso. “Yang kapal 100 GT menggunakan mesin 10 silinder. Saya juga tidak tahu mesin apa yang dipakai untuk kapal sebesar itu,” jelas Ali Sodikin, ketua Pantai Lestari. Kebetulan Ali menggeluti bisnis penangkapan ikan dengan tiga unit kapal.
Untuk pembuatan kapal 50 GT, pemesan harus menyediakan biaya Rp 3,5 – Rp4 miliar per unit. “Itu harga kapal yang langsung bisa jalan,” lanjutnya. Dia coba memerinci kebutuhan dan biaya pembuatan kapal.
“Kapal ukuran 30-50 GT membutuhkan kayu 60-70 kubik, sedangkan yang 50-60 GT perlu 80 kubik. Kayu merbau seharga Rp7 - Rp8 juta per kubik. Itu sudah kelihatan berapa biayanya.”!break!
Sedangkan biaya tukang biasanya meteran atau borongan. “Kalau meteran, tergantung panjang lunas kapal. Bisa 10 meter, paling panjang 22 meter. Setiap meter, biayanya Rp5,5 juta. Belum lagi uang jamu, uang rokok, dan uang jajan setiap minggu. Saya masih harus ngasih lagi,” papar Ali.
Bisnis pembuatan kapal rupanya lumayan rumit. Soal paku misalnya. Ada paku tandur, untuk mengikat antarpapan; ada paku bekel untuk mengikatkan papan pada gajih; ada juga gelam untuk menutup lubang antarpapan. Juga baut-baut. Ada baut yang terbuat dari besi biasa dan monel.
Biaya besar masih mengintip dari balik lambung kapal. “Yang tidak kelihatan adalah kebutuhan fiber di dalam kapal. Lumayan gede biayanya. Untuk kapal 60 GT, biaya fiber bisa Rp250 juta, kalau 30 GT hanya Rp120 juta,” urai Ali. “Kelihatannya tidak ada fibernya, karena masuk ke dalam kapal untuk menampung bahan bakar.”
Belum lagi kebutuhan pendingin untuk membekukan ikan tangkapan. Pemasangan pendingin atau freezer di kapal 30 GT misalnya, dibutuhkan Rp350 juta. Bila ingin lebih murah, kapal cukup membawa es balok. Jumlahnya, sedikitnya 500 balok es.
Dengan begitu, kata Ali, kalau tidak bisa menghitung biaya pembuatan kapal, menggeluti perikanan tangkap akan berisiko besar. “Karena kita melarungkan kapal yang besar nilainya. Kapal ukuran 30 GT saja sedikitnya Rp3 miliar.”
Tak Hanya Cukupi Kebutuhan Gizi, Budaya Pangan Indonesia Ternyata Sudah Selaras dengan Alam
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR