"Bak-buk!" Bunyi durian jatuh mengiringi langkah ketika kaki mendaki perbukitan menuju rumah urang Kanekes atau dikenal sebagai orang Baduy. Gedebuk durian jatuh itu lalu diikuti suara gemerisik gesekan durian dengan ranting dan dedaunan.
Berada di permukiman Baduy, Desa Kanekes, Banten, pada puncak musim durian seperti kali ini ibarat mimpi yang jadi nyata bagi pencinta durian.
Hutan lebat di kaki Pegunungan Kendeng menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi suku Baduy dengan sumber limpahan hasil hutan, seperti durian, duku, petai, dan padi tadah hujan. Aneka tumbuhan itu tumbuh subur dengan aliran jernih hulu Sungai Ciujung.
Persentuhan dengan durian sudah dimulai sejak memasuki terminal Ciboleger. Anak-anak kecil hingga pemuda dan orang tua sibuk memikul durian yang dipasok ke gudang-gudang di terminal.
Terminal Ciboleger menjadi pintu masuk bagi wisatawan yang banyak berkunjung dan menginap di rumah-rumah warga Baduy. Beragam jenis kendaraan pribadi diparkir di terminal yang juga melayani trayek angkutan umum ini.
Selepas dari Terminal Ciboleger, pengunjung harus berjalan kaki 4-5 jam sampai Baduy dalam. Sebagian memilih memanfaatkan jasa pemandu lokal yang akan menunjukkan jalan sekaligus membawakan barang bawaan.!break!
Kehadiran pemandu yang kebanyakan adalah warga Baduy luar ini sangat membantu karena medan terjal hingga kemiringan lebih dari 45 derajat yang harus dilalui.
Limpahan buah durian semakin meruah begitu kaki memasuki Kampung Babakan Jaro yang merupakan permukiman masyarakat Baduy terluar.
Di Kanekes, terdapat 52 kampung, 49 kampung di antaranya dihuni warga Baduy luar dan 3 kampung (Cikeusik, Cikertawana, dan Cibeo) menjadi rumah bagi warga Baduy dalam.
Pohon tua
Jarak antarkampung yang cukup jauh dipisahkan ladang pertanian tadah hujan dan lebatnya pepohonan hutan. Pohon-pohon durian berukuran raksasa dengan mudah bisa dijumpai di sepanjang jalur pejalan kaki.
Pemandu kami, Endang (40), menunjukkan pohon durian tua yang batangnya tak muat dipeluk oleh lengan dua orang dewasa. Pohon tersebut masih tegak berdiri, tetapi sudah dilirik pembeli kayu dengan harga sangat murah, sekitar Rp 2 juta.
Jika pepohonan durian bersinggungan dengan jalur pejalan kaki, pemiliknya akan berusaha ”mengamankan” dengan mengikat setiap buah dengan tali.
Biasanya proses pengikatan buah itu memakan waktu seharian per pohon. Durian yang diikat adalah buah yang kulitnya mulai mengeras. Buah-buah yang sudah matang dan terlepas dari tangkainya tampak bergelantungan terikat tali di dahan-dahan pohon.
Keluarga Endang memiliki 200 pohon durian yang sebagian besar di antaranya sudah tua. Pohon durian tersebut tumbuh liar di hutan tanpa ada yang menanam dan tak perlu dipelihara.
Karena proses penyebarannya alamiah, tak ada penyeragaman varietas durian hutan di Baduy. Akibatnya, mencicipi durian Baduy menjadi semacam petualangan rasa. Setiap buah memiliki rasa unik yang bisa saja berbeda dengan buah dari pohon lainnya.!break!
Setiap pohon bisa menghasilkan 50 durian dalam satu kali pemanenan. Biasanya, warga Baduy dalam ataupun luar menjual buah durian dengan rentang harga Rp 10.000-Rp 25.000 bergantung pada ukuran buah.
Dari kedalaman hutan, durian-durian tersebut diangkut anak-anak kecil hingga pemuda dengan ongkos pikul berjalan kaki melintasi perbukitan Rp 500 per butir. Satu kali angkut mereka bisa memikul 20 durian.
Legitnya durian Baduy semakin menggiurkan ketika disantap sembari menginap di perkampungan Kanekes. Sebagian warga membuka lebar-lebar pintu rumah mereka untuk wisatawan.
Sesuai aturan adat, mereka dilarang menerima tamu wisatawan asing. Dengan ongkos menginap Rp 75 ribu per orang, para tamu bisa tidur beralaskan tikar di ruang tamu rumah-rumah panggung yang terbuat seluruhnya dari bambu dan kayu tanpa aliran listrik.
Enam anak Sarman memanfaatkan waktu membantu panenan durian para tetangganya. Anak perempuan Sarman, Eha (10), juga turut memikul durian dari hutan menuju Terminal Ciboleger.
Berjarak sekitar 40 kilometer dari kota Rangkasbitung atau 172 kilometer dari Jakarta, Kanekes menawarkan kehidupan yang jauh dari hiruk-pikuk kota.
Kehidupan ala nenek moyang yang sengaja menutup diri dari pengaruh dunia luar dan menjaga cara hidup tradisional secara ketat.
Kehidupan sederhana yang berdamai dengan alam. Dari alam pula, durian-durian itu tumbuh dan menebar rasa manis nan legit.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR