Di zaman dahulu kala, hiduplah seorang lelaki bernama Tyawan bersama tiga orang putrinya, Meenhi, Wimlah, dan Gunnedoo. Selain ayah, Tyawan adalah dukun yang mempunyai kemampuan sihir. Dengan tongkat ajaib di tangannya, dia bisa mengubah apapun sekehendak hatinya.
Mereka berempat hidup di puncak bukit. Tak jauh dari tempat mereka tinggal, ada jurang yang sangat dalam. Di bawahnya adalah lembah pekat yang tak tersentuh manusia.
Setiap kali Tyawan hendak berburu ke hutan, dia tak pernah lupa untuk mengingatkan anak-anaknya agar tetap berada di puncak bukit. Tyawan takut ketiga anaknya akan diganggu oleh mahkluk bernama Bunyip. Mahkluk jahat itu tertidur dalam kegelapan di dasar lembah.
Suatu hari, saat Tyawan pergi berburu, Meenhi tak sengaja menjatuhkan batu ke dalam jurang. Akibatnya, Bunyip terbangun. Dia marah dan berusana naik ke puncak bukit, mengejar gadis-gadis itu. Tyawan yang tak berada di dekat ketiga anaknya, tak dapat langsung membantu. Dari kejauhan, Tyawan pun menyihir ketiga anaknya menjadi tiga pilar batu, agar selamat dari serangan Bunyip.
Bunyip pun semakin marah. Dia lantas berbalik dan memburu Tyawan. Tyawan menghindar, dia mengubah dirinya menjadi berbagai bentuk sebelum akhirnya berubah menjadi burung "lyrebird". Dengan cara itu, Tyawan pun lolos dari kejaran Bunyip. Namun malang, tongkat sakti Tyawan jatuh ke dasar lembah saat kedua tangannya berubah menjadi sayap.
Sejak saat itu, Tyawan terus terbang dan mencakari dedaunan di lembah untuk mencari tongkatnya. Hanya dengan tongkat itu, dia bisa mengembalikan wujud asli ketiga putrinya.
!break!Three sisters
Legenda itu saya dengar beberapa saat sebelum bus yang saya tumpangi berhenti di Echo Point, sebuah pelataran besar dengan taras dua tingkap yang menjorok ke pinggir lembah Jamison.
Adalah Edmond Tsang, sopir yang membawa rombongan kami, yang menceritakan legenda itu saat makan siang di the Conservation Hut. Awalnya, di Conservation Hut, -tak jauh dari Echo Point, ada sebuah lukisan yang menutupi hampir seluruh dinding restoran. Di dalamnya ada gambar pegunungan dengan tiga pilar batu di bibir jurang.
"Itu lukisan three sisters," kata Edmond yang kemudian mulai menceritakan legenda itu.
Yang pasti, Three sisters sejak lama menjadi salah satu magnet wisata suku Aborigin di kawasan Katoomba. Ratu Elizabeth pun telah datang ke tempat ini pada 12 Februari 1954. Itu terlihat dari sebuah prasasti yang terpasang di teras Echo Point.
Di toko-toko cinderamata tak sulit mendapatkan aneka produk bergambar Three Sisters, lengkap dengan beberapa versi cerita yang mengikutinya. Untungnya pula, Three Sisters berada di kawasan taman nasional Blue Mountain, satu dari delapan taman nasional sejenis di kawasan "Greater Blue Mountains World Heritage Area".
Area "Greater Blue Mountains" mencakup kawasan seluas satu juta hektar, atau kira-kira 15 kali luas Kota Jakarta. Namun, dari delapan taman nasional itu, wilayah Blue Mountain-lah yang memiliki spot terbaik untuk menikmati Three Sisters, Jamison Valley, Pegunungan Biru, dan Air Terjun Katoomba, sekaligus.
Penulis | : | |
Editor | : | Irfan Hasuki |
KOMENTAR