“Pusaka keluarga itu menautkan anak cucu dengan para leluhur mereka. Sebagai pejalan geowisata, kita bisa mendukung Lasem sebagai kota pusaka dengan menghargai tinggalan leluhur mereka dan tidak menginginkannya untuk tujuan koleksi,” ungkap Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief majalah National Geographic Traveler. “Saya pikir semua akan tetap indah dan memesona ketika berada pada tempatnya.”
Didi menyampaikan ungkapan tadi dalam sehalaman editorialnya yang bertajuk “Kesengsem Lasem” di National Geographic Traveler edisi Februari 2016. Dalam edisi itu, Pecinan Lasem tampil sebagai salah satu kisah narasi berjudul “Terbit Rindu pada Bekas Kota Candu”.
Kesengsem Lasem memang serupa perasaan haru biru yang selalu membawa saya merindu Lasem, kota tilas candu di pesisir utara Jawa. Rasa itulah yang membawa saya dan fotografer Feri Latief kembali ke pecinan itu demi merayakan pergantian Tahun Kambing menjadi Tahun Monyet bersama warga Pecinan Lasem pada 8 Februari silam.
Perayaan tahun baru bagi masyarakat etnis Cina di seantero jagat merupakan perayaan yang dinanti-nanti setiap tahunnya. Perayaan tahun baru yang merupakan penanda suka cita rakyat negeri tirai bambu dalam menyambut datangnya musim semi, ternyata juga dirayakan penuh kegembiraan oleh warga Cina di Indonesia, termasuk di Lasem. Kendati bukan menyambut musim semi—malah menyambut musim penghujan—pergantian kalender Imlek di Lasem sungguh menggambarkan guyubnya warga.
Kesibukan jelang perayaan tahun baru Imlek cukup terasa di rumah-rumah Pecinan Lasem di Karangturi. Suasana selalu sepi seperti biasa, penanda rengsanya usia bangunan dan penghuni di dalamnya. Hampir tiap rumah membuka pintu pagar kayu warna-warni berhias aksara Han aneka harapan energi positif untuk kesejahteraan keluarga pemilik rumah.
Klenteng Poo An Bio di Gang 7 Karangturi, menjadi tempat puncak perhelatan Tahun Baru Imlek. Pagi itu meja persembahan berisi aneka rupa sesaji diletakkan oleh pemilik rumah di teras. Warga telah melaksanakan sembahyang untuk dewa dan leluhur. Sementara, malam harinya mereka akan bersembahyang di ketiga klenteng ikonik kota Lasem—Poo An Bio, Gie Yong Bio, dan Cu An Kiong. Saya melihat para umat yang tidak begitu banyak jumlahnya memulai ritual sembahyang jelang tahun baru.
Siang agak mendung di Lasem, sembahyang berakhir, dan seluruh umat beserta pengunjung klenteng bersantap bersama. Menunya adalah masakan khas Lasem: asem-asem ayam pedas dengan sensasi yang meledak di lidah! Kami makan bersama sambil bertukar cerita.
Seseorang lelaki menepuk pundak saya, sembari bertanya, “Inikah Mbak Agni yang menulis tentang Lasem di National Geographic?”
Saya mengiyakan.
“Saya khusus datang ke Lasem bersama istri dan anak saya setelah membaca NatGeo,” ujarnya.
Kini giliran saya menepuk pundak beliau, “Bapak serius?”
“Ya, dan bertemu dengan penulisnya!” ujarnya semringah.
Namanya adalah Cosmas Budi Rahardjo. Lelaki asal Nganjuk itu berniat mengunjungi Lasem setelah membaca kisah “Corong Candu di Tepian Jawa” di majalah National Geographic Indonesia edisi Februari. Tampaknya dia juga terjangkit virus “Kesengsem Lasem”.
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR