Terbayangkah Anda jika di piring tersaji masakan dari daging tikus?
Bukan hanya di beberapa wilayah di Indonesia, tikus juga menjadi makanan di negara lain, seperti di Arunachal Pradesh, India, misalnya.
Riset tentang kebiasaan makan daging tikus yang biasa dilakukan suku-suku di timur laut India, di antaranya suku Adi dan Apatani, dilakukan Victor Benno Meyer-Rochow.
Victor adalah peneliti di Universitas Oulu, Finlandia. Dalam survei ini, dia didampingi oleh ilmuwan yang juga merupakan anggota suku Adi, Karsing Megu.
Tak diketahui secara pasti sejak kapan suku ini menyantap tikus. Peneliti meyakini tradisi panjang ini dilakukan bukan karena masyarakat di sana kekurangan bahan pangan.
Sebab, di wilayah itu juga, masih terdapat berbagai jenis hewan buruan lainnya, seperti kijang dan kambing.
Namun, tikus sangat diburu karena masyarakat beranggapan dagingnya lezat.
Tentu saja sajiannya ditambah dengan berbagai bumbu pada umumnya. Bagian dari tikus yang tidak digunakan adalah gigi dan tulang.
(Baca juga: 5 Cara Cegah Tikus Berkeliaran di Rumah)
Meluasnya penggunaan tikus sebagai makanan didorong pemikiran bahwa tikus belum termasuk spesies terancam punah.
Selain itu, tikus merupakan hama bagi produk makanan yang disimpan, seperti biji-bijian, umbi-umbian, dan lainnya.
Makan tikus dianggap lebih masuk akal daripada hanya membunuh dan tidak digunakan atau meracuninya dan meninggalkan bangkainya dimakan oleh organisme lain.
Tikus sebagai penganan bukan hanya fenomena di India.
Di beberapa negara lain, seperti di sebagian Sulawesi, Indonesia, atau juga di beberapa kawasan di Filipina, Laos, Myanmar, Thailand, China, dan negara-negara Asia lainnya, daging tikus juga disantap sebagai makanan lezat.
Kebiasaan ini juga bisa dijumpai di kelompok suku Maori di Selandia Baru dan di beberapa bagian di negara-negara Afrika.
Victor dan koleganya menyimpulkan, mengingat kebutuhan memenuhi kebutuhan pangan dunia semakin mendesak akibat pemanasan global, keberadaan tikus sebagai sumber bahan makanan tak boleh diabaikan.
(Baca juga: Tikus Tak Kalah Piawai Menemukan Bom Dibandingkan Anjing)
Memanfaatkan tikus sebagai makanan akan mengurangi perburuan hewan liar yang sudah langka. Ini juga metode yang jauh lebih unggul untuk mengontrol populasi tikus ketimbang meracuninya.
Ada berbagai strategi dalam menangkap tikus. Salah satunya ialah dengan menggunakan bambu dengan seutas tali dari kulit pohon yang berfungsi untuk menjerat mangsa yang terpancing umpan.
Cara lainnya adalah dengan pembakaran arang sekam yang diletakkan di dalam bumbung bambu untuk menghasilkan asap.
Asap kemudian ditiupkan ke dalam liang tikus yang memaksa tikus keluar dari sarang dan mati lemas.
Tentu saja orang suku Adi menyadari tikus bisa masuk ke rumah dan merusak produk makanan yang mereka simpan. Maka dari itu, orang-orang suku Adi membangun rumah sedemikian rupa agar tikus sulit masuk ke rumah mereka.
(Baca juga: Dua Tikus Kecil Bisa Menginvasi Suatu Pulau dengan Cepat)
Meskipun tersedia dan dikonsumsi sepanjang tahun, tikus yang terbaik disajikan pada masa perayaan tradisional, terutama perayaan Unying-Aran.
Unying-Aran adalah sebuah festival berburu yang jatuh pada tanggal 7 Maret. Pagi hari di hari raya ini, pemburu memberikan tangkapan mereka kepada keluarganya yang disebut "Aman ro".
Bukan hanya orang dewasa, anak-anak kecil pun sudah terbiasa dengan tikus. Dari usia belia, mereka sudah biasa menangkap tikus atau menerima tikus sebagai hadiah.
Dalam konteks budaya, penggunaan tikus sebagai hadiah memperkuat hubungan kemasyarakatan suku Adi.
Jika tamu datang, tikus juga dihidangkan sebagai menu spesial untuk menghormati tamu. Yang paling umum, nama masakannya adalah bule-bulak oying, jeroan tikus, sampai kaki dan ekornya juga ikut dimasak dalam sajian ini.
(Baca juga: Tikus Tak Akan Takut Lagi Pada Kucing)
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR