Hari itu, Jumat (11/3/1966), seharusnya menjadi hari yang biasa bagi Presiden Soekarno dalam memimpin rapat kabinet di Istana Merdeka.
Semua menteri hingga kepala lembaga diperintahkan wajib hadir dalam rapat paripurna pertama Kabinet 100 menteri yang merupakan hasil reshuffle Kabinet Dwikora yang didemo mahasiswa.
Dikutip dari buku Presiden (daripada) Soeharto, pagi-pagi sekali, Soekarno meminta para pembantunya hadir ke istana untuk menghindari aksi unjuk rasa yang dilakukan mahasiswa.
Rapat dimulai pada pukul 09.00, meski ada beberapa menteri yang terlambat datang karena dihadang mahasiswa di jalan.
(Baca: Tiga Kontroversi di Balik Supersemar 11 Maret 1966)
Soeharto, yang kala itu menjabat sebagai menteri/Panglima Angkatan Darat, tidak bisa hadir karena sakit.
Untuk itu, Soekarno memerintahkan Pangdam V Jaya Brigjen Amir Mahmud untuk ikut sidang kabinet sebagai sandera apabila terjadi sesuatu.
Sepuluh menit rapat berjalan, Komandan Cakrabirawa Brigjen Sabur, mengirim nota kepada Brigjen Amir Mahmud yang menyatakan ada pasukan liar di luar istana.
Namun, hal ini tidak digubris Amir Mahmud. Sabur pun ketakutan hingga akhirnya mengirim nota langsung kepada Presiden Soekarno yang masih memimpin sidang.
(Baca juga: Benarkah Soekarno Ditodong Pistol Saat Teken Supersemar?)
"Membaca laporan Brigjen Sabur, Soekarno menjadi kalut. Laporan tersebut dilaporkan kepada Wakil Perdana Menteri Dr. Leimena, Dr. Soebandrio, dan Chairul Saleh," tulis Jonar TH Situmorang dalam bukunya Presiden (daripada) Soeharto ini.
Soekarno langsung meninggalkan rapat dan menyerahkan sisa rapat dipimpin oleh Leimena. Namun, ketergesaan Soekarno itu membuat para menterinya tak tenang mengikut rapat. Hingga akhirnya rapat ditutup.
Soebandrio yang saat itu menjabat Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI) lari terbirit-birit mengejar Bung Karno yang sudah berjalan bersama pengawalnya menaiki helikopter untuk diamankan ke Istana Bogor.
!break!
Pasukan liar menargetkan Soebandrio
Di dalam buku Misteri Supersemar, dilaporkan bahwa pasukan liar yang dimaksud adalah pasukan Kostrad. Hal ini kemudian diakui oleh Kepala Staf Kostrad, Kemal Idris.
"Saya disuruh Pak Harto. Lalu, saya memerintahkan Sarwo Edhie untuk menggerakkan pasukannya ke istana untuk menangkap Bandrio," kata Kemal Idris.
(Baca: Supersemar Lemahkan Soekarno, Wibawa Pemimpin Besar Revolusi Meredup)
Menurut dia, pasukan sebanyak dua kompi atau sekitar 80 personel itu sengaja tidak memakai tanda kesatuan supaya Soebandrio tidak takut keluar istana.
Pengerahan pasukan liar ini dianggap terkait dengan keinginan Soeharto yang disampaikannya langsung kepada Soekarno soal menteri-menteri yang terlibat G30S akan segera ditangkap.
Soekarno menolak mentah-mentah permintaan itu. Sehingga, Soeharto menggunakan strategi lain untuk menangkap para menteri yang diduga terlibat PKI melalui kerja sama dengan mahasiswa yang melakukan unjuk rasa.
(Baca juga: Aksi Soeharto Berbekal Supersemar, dari Bubarkan PKI hingga Kontrol Media)
Kekuatan Soeharto di mata mahasiswa saat itu terbilang kuat pasca-peristiwa penumpasan pelaku G30S. Soeharto dianggap sebagai pahlawan sehingga segala perkataannya didengar kala itu.
Di sisi lain, wibawa Soekarno kian tergerus pasca-peristiwa G30S. Apalagi, tuntutan mahasiswa agar Soekarno segera membubarkan PKI tidak juga digubris.
Soekarno meyakini ada oknum yang keblinger di PKI hingga akhirnya membuat sejumlah jendera TNI Angkatan Darat terbunuh pada peristiwa G30S.
Namun, peristiwa itu bukan berarti harus membubarkan organisasi.
!break!
Lahirnya Supersemar
Setelah keberadaan pasukan liar yang menyamar di antara mahasiswa diketahui, Presiden Soekarno meninggalkan Jakarta menuju ke Istana Bogor menggunakan helikopter.
Tiga jenderal AD, yakni Brigen Amir Mahmud, Brigjen M Yusuf, dan Mayjen Basuki Rahmat, menghadap Presiden Soeharto di kediamannya dan menceritakan soal situasi terakhir.
(Baca: Supersemar, Surat Sakti Penuh Misteri)
Dari hasil pertemuan itu, Soeharto mengatakan kepada tiga jenderal itu bahwa dirinya bersedia mengatasi keadaan jika sudah ada surat perintah resmi.
Tiga jenderal itu pun mendapat tugas untuk segera mendapatkan surat mandat dari Soekarno yang kemudian dikenal sebagai Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).
Supersemar ditandatangani Presiden Soekarno di hadapan tiga jenderal itu disaksikan oleh seorang ajudannya, Soekardjo Wilardjito.
Banyak versi menyebutkan situasi saat penandatanganan itu terjadi.
Ada yang mengatakan, Soekarno mendapat tekanan hingga ditodongkan senjata. Versi ini kemudian dibantah oleh keluarga Soeharto.
(Baca juga: Supersemar Versi Soeharto)
Supersemar yang menjadi surat mandat kepada Soeharto itu kemudian dimaknai sebagai tiket untuk membubarkan langsung PKI tanpa persetujuan Soekarno, penangkapan sejumlah menteri, hingga penangkapan orang-orang yang dicurigai terkait PKI.
Surat itu kemudian juga dimaknai sebagai peralihan kekuasaan eksekutif dari Soekarno kepada Soeharto.
Soekarno pun berang dan menyindir aksi Soeharto itu. Meski Soekarno marah melihat aksi yang dilakukan Soeharto, tetap saja Soekarno tak bisa lagi melawan karena seluruh kekuatan politiknya saat itu sudah dipereteli.
(Baca juga: Supersemar, Surat Kuasa atau "Alat Kudeta"?)
"Dari satu kalimat \'mengambil suatu tindakan yang dianggap perlu\', mungkin blunder yang dilakukan Bung Karno, oleh seorang sipil, dengan perintah yang tidak jelas pada seorang tentara," ujar sejarawan Asvi Warman Adam kepada wartawan Kompas.com, Kristian Erdianto, dalam sebuah wawancara beberapa waktu lalu.
Melalui Supersemar itu pula, Soeharto akhirnya berkuasa menjadi Presiden kedua RI hingga 32 tahun lamanya. Sementara masa tua Soekarno dihabiskan menjadi tahanan rumah yang harus mendapat bantuan pihak luar untuk biaya berobatnya.
Penulis | : | |
Editor | : | endah trisulistiowaty |
KOMENTAR