Angin kencang menghujam tubuh enam pendaki, termasuk Kompas di puncak Gunung Burni Telong, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh, Minggu (7/2/2016). Hari itu, cuaca tak bersahabat karena hujan, angin kencang, dan kabut terus menyelimuti Burni Telong.
Namun, para pendaki tetap bersemangat mencapai puncak salah satu gunung tertinggi di Dataran Tinggi Gayo itu demi melihat jejak bunga edelweis (Anaphalis sp) terakhir, bunga abadi yang masih tersisa di sana.
Gunung Burni Telong merupakan gunung api aktif yang berketinggian sekitar 2.646 meter dari permukaan laut (mdpl). Saat ini, Burni Telong menjadi salah satu primadona untuk didaki pencinta alam ataupun pencandu wisata.
Gunung yang tercatat lima kali meletus hebat dari 1837-1924 itu bisa didaki melalui Gampong/Kampung Rembune, Kecamatan Timang Gajah. Gampong itu berjarak sekitar 300 kilometer atau 6-7 jam perjalanan darat ke arah selatan dari Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh.
Jika ingin mendaki, pendaki dikenai biaya Rp 250.000 per kelompok (maksimal 10 orang). Biaya itu untuk upah pemandu dan kas kampung.
Burni Telong memiliki jalur pendakiannya yang tak terlalu panjang, yakni sekitar 4 kilometer atau 4-5 jam dari Gampong Rembune hingga ke puncak. Jalur pendakiannya menawarkan pemandangan khas yang tidak membosankan.
Hamparan kebun kopi arabika menjadi pemandangan unik ketika mulai mendaki. Kopi arabika merupakan komoditas utama Dataran Tinggi Gayo. Mayoritas masyarakatnya berprofesi sebagai petani kopi sehingga kebun kopi ada di mana-mana.
Bukit hijau diselimuti kabut abu-abu menjadi pemandangan eksotis yang menyambut pendaki sebelum masuk rimba. Dataran Tinggi Gayo memiliki ketinggian 1.500-2.000 mdpl.
Daerah ini sejuk dengan suhu rata- rata 15-25 derajat celsius. Bahkan, di sekitar Burni Telong, suhu 5-10 derajat celsius. Untuk itu, pendaki harus menyiapkan pakaian atau jaket dan kantong tidur tebal, serta tenda sesuai standar.
Ketika memasuki rimba, pendaki akan diteduhi pepohonan rimbun. Suasana hening di tengah pepohonan menjulang memberikan ketenteraman guna mengobati kejenuhan hiruk-pikuk kehidupan kota.
Sesekali, terdengar nyanyian burung liar yang menjadi penyemangat para pendaki untuk terus menapaki kaki menuju puncak tertinggi.
!break!Tinggal sisa-sisa
Sesungguhnya, jalur pendakian ke puncak Burni Telong cukup berat karena terus menanjak. Tempat istirahat pun hanya ada dua di sepanjang jalur. Kendati demikian, hal itu tidak menyurutkan semangat para pendaki untuk mengapai puncak gunung tersebut.
Sebab, di puncak telah menanti harta karun keindahan yang dicari para pendaki, yakni bunga edelweis atau si bunga abadi. Bagi para pendaki, edelweis di Burni Telong sangat istimewa.
Pendaki asal Banda Aceh, Syahrol Rizal (35), mengatakan, di Aceh, edelweis hanya ada di Burni Telong. Selain itu, edelweis di Burni Telong mudah dijangkau. Edelweis itu tampak di kanan-kiri sepanjang 1 kilometer jalur menuju puncak.
Bahkan, ada ladang edelweis seluas 10 x 15 meter di samping jalur pendakian yang berjarak sekitar 1 kilometer sebelum puncak.
”Kalau di gunung lain, kita harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk melihat edelweis. Misal di Gunung Kerinci (Jambi), kita harus jalan sekitar 30 menit dari jalur pendakian berbelok ke arah dalam sebelum puncak,” ujar Syahrol yang telah empat kali mendaki Burni Telong sejak 2002 dan pernah mendaki lebih dari 15 gunung di Sumatera dan Jawa.
Akan tetapi, Syahrol menuturkan, edelweis di Burni Telong hanya tinggal sisa-sisa. Jumlahnya terus berkurang 10 tahun terakhir. Dahulu, edelweis itu merata di sepanjang 1 kilometer jalur menuju puncak. Kini, hanya beberapa tumpuk edelweis di jalur tersebut.
”Dulu, luas ladang edelweis di samping jalur pendakian itu pun 2-3 kali lipat dari yang ada sekarang,” ucapnya.
Hal itu akibat ulah tangan-tangan jahil yang memetik tumbuhan tersebut. Terbukti, banyak batang yang cacat kehilangan separuh bagian, dari tengah hingga pucuk. Banyak pula edelweis yang mati diinjak pendaki yang melalui jalur pintas.
!break!Terapkan denda
Pendaki asal Medan, Sumatera Utara, Deni Kurniawan (24), berharap pengelola gunung itu lebih ketat dalam mengawasi dan menindak para pendaki nakal serta rutin merawat kebersihan gunung tersebut.
”Pendaki sudah bayar biaya pemandu ke sini, jadi pengelolanya harus lebih optimal memberikan pelayanan,” katanya.
Ketua Pemuda Gampong Rembune, sekaligus penjaga Burni Telong, Eri Dwisulistyo (27) menuturkan, sekitar 50 orang mendaki Burni Telong di tengah pekan dan 100-150 orang di akhir pekan atau hari libur.
Sebelumnya, mereka bisa mendaki gratis tanpa pengawasan. Namun, ternyata banyak dampak negatif.
Aktivitas mereka tidak terkontrol, antara lain memetik edelweis dan membuang sampah sembarangan. Bahkan, jumlah sampah mencapai 200-300 kilogram setiap dikumpulkan saat kerja bakti 3 bulan sekali.
Untuk itu, setahun ini, pihak kampung memberlakukan sistem pemanduan bagi para pendaki agar pengawasan lebih ketat.
”Kami pun menerapkan denda, yakni pemetik edelweis Rp 5 juta per orang, pembuang sampah plastik Rp 10.000 per sampah per orang, dan sampah kaleng Rp 50.000 per sampah per orang,” tuturnya.
Kendati demikian, Eri menambahkan, sistem pemanduan dan denda itu hanya bagian kecil untuk menjaga Burni Telong dan seisinya. Yang paling utama tetap kesadaran dari pendaki. Jika tidak, Burni Telong akan kian hancur dan edelweis terakhir tidak akan terlihat lagi di masa depan. (Adrian Fajrianansyah)
Penulis | : | |
Editor | : | Irfan Hasuki |
KOMENTAR