“Kaum muda, wanita dan pria, seharusnya saling berhubungan. Mereka seorang-seorang dapat berbuat sesuatu untuk mengangkat martabat bangsa kita. Tetapi, jika kita semua bersatu, menyatupadukan kekuatan kita dan bekerja sama, hasil pekerjaan kita akn jauh lebih besar. Dalam persatuan letaknya kekuatan dan kekuasaan!” (Surat RA Kartini untuk Nyonya Abendanon, 30/9/1901, dalam “Kartini, Sebuah Biografi”, Sitisoemandari S, 1986, “Kartini dari Sisi Lain”, Dri Arbaningsih, 2002)
Di bulan kelahiran RA Kartini, kenangan atas sosok putri Bupati Jepara Adipati Aria Sosroningrat itu banyak menjelma menjadi bayangan hidup. Museum yang menyimpan aneka benda milik Kartini di sisi Alun-alun kota Jepara tak melonjak pengunjungnya.
Namun, tatkala berada di sana, meja kursi, foto-foto, lukisan dan tentu saja surat-surat Kartini yang disimpan dalam salah satu lemari, seperti bertutur kembali tentang Sang Pahlawan.
Sabtu (16/4), Bupati Jepara Ahmad Marzuki sibuk menerima kunjungan empat menteri Kabinet Kerja. Sore hari, Ia masih mendampingi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Anies Baswedan yang berpidato di alun-alun.
(Baca juga: Kisah Kartini "Mendobrak" Tata Krama yang Kaku di Keluarganya)
Bagi warga Jepara, dan diambah pidato Mendikbud, Kartini dimuliakan. Hari-hari ini, perayaan mengenang hari kelahiran Kartini diadakan di sekolah dan kantor. Perempuan Indonesia berkebaya, sambil menyanyikan lagu “Ibu Kita Kartini” ciptaan WR Supratman, adalah gambaran ideal saat memperingati tokoh kelahiran Mayong, 21 April 1879, itu.
Kesemarakan festival bernuansa komplet, dari tradisional hingga inovasi teknologi. Dari sekadar menjual hasil bumi hingga demo menghasilkan tenaga listrik dengan prinsip onthel. Di panggung, ada testimony menampilkan perempuan entrepreneur lokal Muamaroh, yang sukses setelah berjuang menekuni bisnis, meski mengaku permodalan masih sulit diraih.
Puncak acara jatuh di malam hari, masih di alun-alun tempat berlangsungnya Festival kartini IV, acara yang menurut Bupati Jepara sudah diadopsi sebagai perhelatan nasional. DI sinilah berlangsung drama-tari Opera Tiga Perempuan yang ditampilkan oleh Yayasan Swargaloka bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Jepara.
(Baca juga: Kartini, Si Darah Biru yang Kesal Disebut Putri Bangsawan)
Penonton tumpah ruah, hingga mendekati panggung. Dengan iringan music gamelan modern olahan Dedek Wahyudi, berlangsunglah pertemuan imajiner Kartini (Diperankan Dewi Sulastri) dengan penguasa Kerajaan Kalingga Ratu Shima (Siti Saraswulan) dan Ratu Kalinyamat (Ida Lala).
Ratu Shima yang memerintah kerajaan yang pusatnya kuat diduga di Jepara di pengujung abad ke-7 dikenal sebagai penguasa adil dan tegas, sementara Kalinyamat adalah putrid penguasa Kerajaan Demak Sultan Trenggana yang dikenal pemberani dan berkemauan keras. Ia sempat menjadi penguasa Jepara (1546) setelah musuh bebuyutannya—Adipati Jipang Arya Penangsang—terbunuh. Kepahlawanan Ratu Kalinyamat ditandai dengan upayanya untuk menyerang Portugis.!break!
Dalam pagelaran, Kartini yang merasa kurang yakin apakah ia bisa mengambil keputusan (untuk melangkah dengan inisiatif emansipasi) mendapat penguatan dari Ratu Shima dan Ratu Kalinyamat. Maklumsaja, sebelumnya dilukiskan kondisi perempuan (Jawa) yang harus menerima tradisi yang membelenggu, dipingit, dan dijodohkan dengan pria pilihan orang tua yang tak dikenalnyal Tembang “Wus Kinodrat” (Sudah Ditakdirkan) melukiskan suasana yang ada pada waktu itu.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR