(Baca juga: Kartini dan Kegembiraan yang Meluap Akan Pendidikan)
“Keputusanmu telah ditunggu kaummu Kartini!Keputusan yang kau ambil tidak hanya untuk dirimu. Semakin banyak orang yang merasakan hasil keputusanmu, maka semakin tinggi nilai keputusan itu,” ujar Kalinyamat.
Garapan artistik yang dilakukan Irwan Riyadi mencuplik pula bagaimana Ratu Shima yang tegas menghukum putra kandungnya sendiri karena kakinya menyentuh emas yang bukan miliknya. Juga Kalinyamat yang dilanda geram pada Arya Penangsang. Namun, fokus tetap pada Kartini.
Akhirnya, ketiga perempuan membulatkan tekad untuk membangun peradaban baru, menuju zaman kemakmuran dengan memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk berperan di dalamnya. Kartini menyimpulkan, habis malam terbitlah terang.
(Baca juga: Memahami Kepahlawanan Kartini Melalui Surat-suratnya)
Dalam ingatan, terbayanglah kumpulan surat Kartini yang diterbitkan dalam wujud buku oleh Mr JH Abendanon. Itulah Door Duisternis Tot Licht (1911) atau Habis Gelap Terbitlah Terang (1920). |
Dri Arbaningsih, yang menulis disertasi tentang Kartini dan malam itu juga hadir menyaksikan pergelaran, merasa bahwa frase atau jargon “Habis Gelap Terbitlah Terang” mereduksi apa yang dilakukan Kartini.
Dalam penelitiannya yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas (2002), Dri menyinggung bahwa dengan bangkitnya Boedi Oetomo pada 1908, pemerintah mengkhawatirkan kematian Kartini akan mempercepat proses kesadaran berbangsa.
Memang, berbeda dengan perjuangan para perempuan pejuang yang secara fisik turut berperan dalam medan perang, seperti Cut Nyak Dien atau Maria Christina Tiahahu, Kartini berjuang dengan pena di tangan dalam medan pertempuran gagasan dan cita-cita yang perlu diwujudkan.
Mengutip Hidayat Gunadi (2004), Dri Menulis, kalau motif perjuangan Kartini tidak sepenuhnya dipahami. Meski demikian, gagasan seperti terungkap dalam buku telah menerangi kaum perempuan dari kegelapan.
Hal serupa dikatakan oleh Mendikbud Anies Baswedan, yang sore itu mengatakan bahwa Kartini memerangi musuh tidak secara fisik, tetapi dengan membangun kesadaran, terutama akan pentingnya literasi sebagai upaya mempersiapkan masa depan.
Di era yang sering disebut oleh mantan Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono sebagai “brain warfare”, kekuatan ide dan informasi tidak kalah dengan alutsista. Di sinilah Kartini tampil sebagai salah satu simbol inspirasi, tidak saja bagi kaumnya, tetapi juga seorang visioner yang menggarisbawahi pentingnya pemikiran.
Festival Kartini IV dan pagelaran Opera Tiga Perempuan Swargaloka menggaungkan kembali semangat Kartini, di saat orang memperingati hari kelahirannya.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR