Kawanan kepiting dan kerang berukuran kecil berlari mengamankan diri ketika Kompas menjejakkan kaki di atas tumpukan bebatuan di Pantai Nanga Nesa, Senin (5/4/2016) sekitar pukul 09.00 Wita. Binatang-binatang pantai itu sedang berjemur di bibir pantai menyambut matahari pagi.
Nanga Nesa berasal dari bahasa daerah setempat, yakni nanga yang berarti muara dan nesa yang berarti tangga alam. Jadi, Nanga Nesa berarti muara yang memiliki tangga alam.
Pantai itu berbatasan dengan tebing atau berjarak sekitar 70 meter dari bibir pantai. Tangga alam, berupa susunan batu-batu alam menyerupai tangga menuju bukit, terletak persis di ruas jalan Ende-Wolotopo di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur.
Di situ para pengunjung, termasuk turis asing, sering naik ke dinding tebing, berupa tangga yang tersusun dari batu-batuan, untuk memotret pemandangan pantai, dengan latar belakang Gunung Meja dan keindahan kota Ende, ibu kota Kabupaten Ende, yang terletak di depan Pantai Nanga Nesa.
Dari hamparan pasir hitam mengilap yang terletak sekitar 7 kilometer arah timur kota Ende, ibu kota Kabupaten Ende di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, itu tampak berdiri megah Gunung Meja. Gunung itu disebut meja karena bentuk puncak gunung itu berupa tanah datar, mirip meja.
Bentuk puncak gunung dengan ketinggian sekitar 300 meter di atas permukaan laut (mdpl) itu awalnya tidak datar.
Karena gunung itu dinilai mengganggu proses pendaratan dan keberangkatan pesawat dari Bandar Udara Haji Hasan Aroeboesman di Ende—berjarak sekitar 5 kilometer dari Pulau Koa, pemerintah daerah setempat memotong gunung itu sekitar 200 mdpl tahun 1970-an dan dibuang ke dasar laut.
Pulau Koa tidak ada penghuninya. Hanya nelayan memanfaatkan pulau ini untuk menambatkan perahu atau berteduh. Menurut legenda masyarakat setempat, Pulau Koa adalah bagian dari penggalan puncak Gunung Meja, ratusan tahun silam.
Sementara Pulau Ende yang berbentuk sebuah parang terletak sekitar 300 mil dari Ende dipercaya sebagai parang, yang digunakan untuk memenggal Gunung Meja.
Legenda kuno yang beredar luas di kalangan masyarakat Ende menyebutkan, ada tiga orang yang bernama Meja, Iya, dan Wongge. Meja adalah seorang gadis cantik dan berperilaku sopan.
Iya adalah seorang laki-laki kaya yang berperilaku jahat. Sementara Wongge adalah seorang laki-laki miskin, tetapi sopan. Kedua laki-laki ini bersama sejumlah pemuda di wilayah itu memperebutkan Meja.
Namun, Meja lebih mencintai Wongge. Suatu saat Iya datang kepada Meja, menyatakan cintanya, tetapi ditolak. Meja pun dibunuh Iya dengan cara dipenggal kepalanya. Kepala meja kemudian dibuang ke arah timur dan membentuk Pulau Koa.
Saat itu pula datang Wongge ke tempat tersebut. Menyaksikan meja telah dipenggal kepalanya oleh Iya, terjadi pertengkaran antara Iya dan Wongge. Wongge pun berhasil membunuh Iya dengan parang panjang.
Seusai membunuh Iya, parang itu dibuang ke arah selatan, yang saat ini membentuk Pulau Ende, dan memang pulau itu berbentuk seperti sebuah parang panjang.
Legenda ini dipahami masyarakat melalui cerita dari generasi ke generasi. Dari legenda kuno ini muncul sejumlah kreasi seni dan budaya. Misalnya, tarian, teater rakyat, drama, cerita rakyat, dan sejumlah adat istiadat.
Pusat wisata
Dari Nanga Nesa, pengunjung menyaksikan Pulau Koa, Gunung Meja, dan permukiman Ende yang terletak di Teluk Ende dengan sangat leluasa. Pantai itu sangat strategis untuk berekreasi, serta menikmati matahari terbit dan terbenam. Tetapi, masyarakat belum memanfaatkan pantai itu sebagai salah satu pusat wisata.
Hanya sejumlah turis asing sesekali datang mandi, kemudian menaiki tangga alam untuk memotret. Pantai dengan panjang sekitar 1 kilometer dan lebar sekitar 70 meter ke arah daratan itu seakan tenggelam di balik ketenaran dan nama besar Danau Kelimutu, sekitar 60 kilometer arah timur Ende.
Gunung Meja memiliki makna sejarah yang dalam. Konon, gunung itu sering dipandangi oleh Bung Karno saat duduk merenungkan sila-sila Pancasila.
Karena itu, Pemerintah Kabupaten Ende berencana membangun sebuah tugu kerukunan di puncak Gunung Meja.
Pada lereng gunung itu ditanam bunga bugenvil berwarna merah, dan bagian bawahnya ditanam bunga serupa berwarna putih sehingga saat berbunga pada bulan Oktober-Desember, puncak Gunung Meja itu tampak berwarna merah-putih.
Untuk mengenang kehadiran presiden pertama RI di Ende tersebut, Dinas Pariwisata Provinsi NTT berencana mengganti nama Gunung Meja menjadi Gunung Soekarno.
Pada puncak Soekarno itu dipajang tulisan kelima sila Pancasila dengan huruf timbul yang besar sehingga bisa terbaca saat berada di udara dari pesawat.
Dari Pantai Nanga Nesa, kita dapat menyaksikan Gunung Meja secara leluasa dengan segala keindahannya. Pantai Nanga Nesa berpasir hitam legam.
Ketika matahari bersinar terik menerpa bibir pantai itu, tampak kristal-kristal putih bercahaya kemilau. Kawasan pantai relatif aman dari gangguan binatang liar, seperti buaya laut atau palung terjal.
Hampir semua pantai di selatan Ende berpasir hitam, kecuali bagian utara, seperti wilayah Maurole dan Waka yang berpasir putih.
Maman Kadir (54), warga Nenga Nesa, mengatakan, pada hari libur, terutama pada hari raya Lebaran, pantai itu dikunjungi wisatawan. Anak-anak sangat senang bermain dan mandi di pantai tersebut. Tetapi, kawasan pantai tidak ada pohon pelindung sehingga pada pukul 09.00 Wita, cuaca di sekitar pantai itu mulai panas.
Ia mengatakan, hampir semua pantai di Ende sangat indah, tetapi tidak terawat atau dipromosikan menjadi obyek wisata. Air laut belum tercemar, masih berwarna biru.
Keindahan pantai rupanya kalah menarik dengan keindahan Danau Kelimutu sehingga masyarakat Ende dan turis asing lebih suka bicara Kelimutu daripada Pantai Nanga Nesa.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR