Kain erat kaitannya dengan budaya di Indonesia, tak jarang selembar kain bisa menjadi identitas pemakainya, serta menjadi identitas suatu daerah. Tak banyak jejak yang ditinggalkan pendahulu mengenai wastra asli dari Belitung, bahkan diantara foto-foto lama yang ditemukan di Rumah Adat Belitung yang menjadi etalase budaya Kabupaten Belitung.
Diantara jejeran foto lama Belitung yang terdapat di Rumah panggong yang beralamat di Lesung Batang, Tanjung pandan tersebut terlihat beberapa perempuan Belitung berpose dengan kain batik khas Jawa maupun songket khas Palembang. Pada jaman perdagangan dahulu, kawasan Belitung merupakan kawasan transit yang menjadi tempat singgah bermacam pedagang dengan berbagai latar belakangnya tak heran jika banyak barang-barang dari luar Belitung terekam dimasa lampau.
Nunik Febrianti, pengurus Museum Rumah Adat Belitung menjelaskan bahwa secara spesifik Belitung tak memiliki catatan secara spesifik mengenai kain tradisional, pun kalaupun warga Belitung mengenal Cual, kain tenun yang lebih terkenal sebagai kain Khas Bangka.
Tak mudah menemukan pengerajin kain Cual khususnya di Belitung. Tak ada tradisi menenun secara turun temurun seperti yang biasa ditemukan di kawasan Indonesia Timur. Kebanyakan kain Cual yang ditemukan merupakan produk Pulau Bangka, pun jika menemukan buah karya penenun dari Belitung hanya akan ditemukan beberapa saja yang pembuatannya pun terkonsentrasi pada satu daerah.
Kain Cual telah masuk ke Belitung sejak bertahun-tahun lampau namun baru tahun 2009 geliatnya mulai terasa. Sebanyak 3 orang perwakilan Belitung dididik selama 1 bulan mengenai tata cara menenun Cual oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Provinsi Bangka Belitung, salah satunya adalah Markana (28), perempuan dari Desa Juru Seberang, Tanjung Pandan yang saat itu baru saja lulus Sekolah.
“Waktu pelatihan dulu orang 3 tapi yang dua nggak tahan, capek katanya. Kalau kami biar lah bisa bantu-bantu ekonomi keluarga,”Markana mengungkapkan alasannya bertahan menjadi pengerajin kain Cual selama hampir 7 tahun.
Dahulu Markana mengerjakan pembuatan Cual di rumahnya, baru pada tahun 2015 Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Provinsi Bangka Belitung mendirikan bangunan yang digunakan sebagai sanggar sekaligus gerai penjualan produksi kain Cual yang dibuatnya. Sanggar Cual yang dikelola oleh Markana merupakan satu-satunya tempat produksi kain tradisional Bangka Belitung.
Saat ditemui di Sanggar pembuatan kain Cual, terlihat ada beberapa penenun lain yang sedang bekerja, menurut Markana para penenun yang ada saat ini adalah warga sekitar sanggar yang tertarik dan mau secara konsisten bekerja merangkai helai demi helai benang untuk menghasilkan selembar kain berkualitas tinggi. Saat ini terdapat 4 pengerajin tenun yang bernaung di Sanggar Cual yang berada di Desa Juru Seberang, Tanjung Pandan, Kabupaten Belitung itu. Selain Markana, 3 pengerajin lain merupakan pengerajin baru yang dididik oleh Markana.
“Yang biasanya nenun kan ibu-ibu kalau yang mudanya paling cuma ingin belajar aja.
Banyak sih yang mau belajar, tapi kita alatnya cuma ada 4, jadi kalau dipinjamkan kesana kita nggak bisa produksi,”cerita Markana.
Dilema yang diungkapkan Markana tak muluk-muluk, mengingat produksi selembar kain berukuran 2 meter bisa menghabiskan waktu hingga 1 bulan lamanya tergantung pola yang akan tercetak pada kain. Terdapat beberapa pola yang biasa diproduksi oleh Markana dan rekan-rekannya antara lain Cak Rebung, Tawor, Bebek Setaman yang merupakan pola umum yang biasa ditemukan di kawasan Bangka Belitung.
“Kita belum punya motif sendiri, baru mau merancang untuk motif asli Belitung. Kalau sekarang , apa yang ditemukan disini juga ditemukan di Bangka,”Tambah Markana
Dengan kerumitan cara membuatnya, sehelai kain Cual dibanderol seharga 2 hingga 3 juta rupiah, bahkan bisa melebih mahal saat menggunakan banyak benang beraksen emas. Tingginya harga Cual, diakui Markana berdampak pada sulitnya penjualan tentunya juga berpengaruh pada ekonomi para pengerajin.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR