Perang saudara di Suriah yang dalam beberapa hari ini terfokus di Aleppo, kota besar kedua setelah Damaskus, semakin buruk karena lebih banyak menyasar warga sipil.
Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan, satu nyawa melayang dalam setiap 25 menit dalam dua hari ini atau setidaknya hingga Senin (2/5/2016).
Sementara itu, dalam pertempuran pada sepekan sebelumnya, 200 orang tewas.
Krisis Suriah tak memperlihatkan tanda-tanda akan segera berakhir. Keadaan di Aleppo semakin memburuk setelah perundingan damai Suriah di Geneva, Swiss, menemui jalan buntu.
Aleppo telah menjadi target serangan koalisi Rusia dan Suriah. Rusia melancarkan serangan udara, sedangkan Suriah melakukan serangan darat.
Meski kedua negara itu mengklaim serangan mereka menarget kelompok Negara Islam Irak dan Suriah, basis-basis oposisi moderat yang didukung koalisi AS justru telah menjadi korban.
Tidak terkecuali rumah sakit yang dikelola oleh lembaga amal medis, Dokter Tanpa Batas (MSF).
Rabu (27/4/2016), misalnya, Rumah Sakit Quds yang didukung Komite Palang Merah Internasional (ICRC) dan rumah sakit yang dikelola MSF pun hancur dibombardir Rusia.
Mobilisasi serdadu yang disusul dengan pertempuran sengit di Suriah utara menandai berakhirnya gencatan senjata yang telah berlangsung sejak Februari silam.
Dengan mandeknya perundingan damai di Geneva, perang tiga sisi antara pemerintah, oposisi, serta ISIS kembali memanas. Namun, di Aleppo, pertempuran itu melibatkan oposisi dan pemerintah.
Sekitar 200 warga sipil meninggal dunia selama sepekan terakhir di Suriah, kebanyakan di kota Aleppo.
Menurut Utusan Khusus PBB untuk Perdamaian Suriah, Staffan de Mistura, dalam 48 jam terakhir, satu nyawa melayang setiap 25 menit dan satu orang luka-luka setiap 13 menit.
Tokoh oposisi Suriah di Aleppo menyatakan, kota itu diyakini akan menjadi medan perang terbesar.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR