Tanggul laut raksasa atau giant sea wall yang menjadi bagian dari Indonesia National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) atau Pembangunan Terpadu Pesisir Ibu kota Negara dibangun untuk mengurangi penurunan muka air tanah.
Alih-alih solusi yang konkret, giant sea wall di Teluk Jakarta ini diprediksi bakal membawa masalah baru yang lebih parah. (Baca pula : Jalan Panjang Reklamasi di Teluk Jakarta)
Ketua Kelompok Kelautan Teknik Pantai Institut Teknologi Bandung (ITB) Muslim Muin mencontohkan, beberapa proyek tanggul laut di negara-negara lain, misalnya St. Petersburg.
Daerah di Rusia ini memiliki kondisi geografis yang mirip dengan Teluk Jakarta. Namun, mereka membangun tanggul melalui proses yang benar. (Baca juga : Peningkatan Level Air Laut, Risiko yang Mengintai Proyek Reklamasi)
"Tanggul ini melindungi kota dari gelombang badai (storm surge). Sebelum membangun tanggul, mereka punya sewage dandrainage yang dipisahkan," ujar Muslim saat diskusi terkait NCICD di Goethe Institue, Jumat (13/5/2016).
Muslim menjelaskan, sewage adalah sistem atau jaringan untuk mengelola air limbah. Sementara drainage adalah sistem yang menyerap air hujan. Air limbah ini bermuara di Sewage Treatment Plant (STP) yang dibangun dalam jumlah puluhan. Pembangunan STP ini dilakukan sebelum St Petersburg ditutup dengan tanggul.
Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan tanggul laut di Jakarta. "Jakarta mana sewage-nya? Mau dibangun STP, tapi sewage ngga ada, buat apa?" kata Muslim.
Menurut dia, jika pemerintah memang ingin membangun tanggul laut tersebut, seharusnya dibangun drainase dan sewage yang terpisah. Baru kemudian STP dibangun. Pasalnya, Teluk Jakarta merupakan tempat 13 sungai bermuara. Jika tidak dipisahkan, maka Teluk Jakarta akan menjadi comberan dari 13 sungai tersebut.
Muslim menuturkan, pemerintah pernah mengklaim tidak akan tutup teluk dengan tanggul kecuali 13 sungai ini bersih. Namun sebaliknya, pemerintah tetap melanjutkan proyek tanpa memisahkan antara sewage dan drainase.
Ia menambahkan, pemerintah salah jika memaksakan tanggul laut dengan hanya mengacu reklamasi di Dubai, Uni Emirat Arab. Dari kondisi geografisnya, Jakarta dan Dubai sudah berbeda. (Baca juga : Tahun 1994 Kedalaman Rawapening 15 meter, Sekarang Tinggal 8 Meter)
"Di Dubai tidak ada 13 sungai yang masuk. Ya, tidak akan banjir, kan tidak ada sungai yang ke sana," sebut Muslim.
Penulis | : | |
Editor | : | Irfan Hasuki |
KOMENTAR