Meratanya akses pada vaksinasi dua dosis pertama bergantung pada suplai vaksin dan kapasitas distribusi serta layanan vaksinasi. Menurut CISDI dan PUSKAPA, setelah satu tahun program vaksinasi nasional berjalan, pemerintah Indonesia masih kesulitan menjangkau dan memprioritaskan kelompok rentan.
Mereka melihat adanya keterbatasan dan ketimpangan kapasitas distribusi dan layanan vaksinasi antara wilayah perkotaan dengan pedesaan. Perbedaan akses vaksin antara pulau Jawa dengan non-Jawa ataupun wilayah barat dengan wilayah timur juga terlihat sehingga membuat Indonesia kerap menghadapi risiko ketimpangan vaksinasi.
Situasi ini diperparah dengan minimnya transparansi informasi mengenai distribusi dosis vaksin pertama dan kedua. Selain itu, ketimpangan ini juga diperparah dengan laporan-laporan mengenai sejumlah pejabat pemerintah dan beberapa warga non-nakes (bukan tenaga kesehatan) yang sudah lebih dulu mendapat vaksin booster.
Penyebaran virus corona varian baru yang bersatus Variant of Concern (VOC) memang membuat pemberian dosis ketiga ataupun booster dibutuhkan. Namun, pemberian dosis ketiga dan booster harus ditargetkan untuk kelompok populasi yang paling membutuhkan, yakni lansia di atas 65 tahun dan pasien dengan gangguan imunitas.
"Dalam keterbatasan pasokan vaksin dan kapasitas vaccine delivery, kebijakan booster berbayar berisiko memperburuk ketimpangan vaksinasi dan mengalihkan pasokan dari meratanya dua dosis pertama atau vaksinasi primer," tegas Mereka.
"Tanpa kecepatan, ketepatan, dan keluasan cakupan dosis 1 dan 2, prospek mitigasi pandemi bisa meleset dan berimplikasi buruk bagi kesehatan masyarakat, kesejahteraan sosial, dan ekonomi."
Oleh karena itu, koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah membatalkan kebijakan booster berbayar, memperjelas rencana pencapaian 70-80% cakupan vaksin dosis lengkap, dan mempercepat jangkauan vaksinasi pada masyarakat rentan. Selain itu, mereka juga meminta pemerintah memperjelas ketersediaan pasokan dan kapasitas layanan vaksinasi COVID-19 dosis ketiga bagi lansia 65 tahun ke atas dan menyiapkan tata kelola untuk pada akhirnya menyediakan dosis ketiga secara gratis bagi seluruh masyarakat.
Baca Juga: Studi: Dua Dosis Vaksin Sinovac Tak Mampu Cegah Infeksi Varian Omicron
Koalisi mendorong pemerintah untuk memperkuat jangkauan vaksinasi pada seluruh masyarakat, terutama bagi warga yang paling rentan dengan memobilisasi pelayanan kesehatan primer. Menurut mereka, puskesmas mampu menguatkan kapasitas kesehatan di level komunitas, termasuk menjangkau kelompok rentan yang selama ini sulit mendapatkan vaksin. Jangan keluarkan puskesmas dari skema booster atau vaksin dosis ketiga, tegas mereka.
Lebih lanjut, koalisi juga meminta pemerintah tidak membuat bingung warga dengan narasi booster berbayar dan tetap berpegang pada prinsip keadilan dan keberpihakan pada warga rentan. Penambahan jalur booster berbayar akan membebani tata kelola vaksinasi yang saat ini sudah sangat terbatas dan masih timpang. Perkembangan bukti ilmiah semakin mendukung kemungkinan bahwa pendosisan vaksin COVID-19 yang tepat adalah tiga suntikan, menyebabkan konsep booster (opsional) bisa jadi keliru.
Bila pada akhirnya pendosisan vaksin COVID-19 yang tepat memang adalah tiga suntikan, pemerintah perlu menata ulang penjaminan vaksinasi dosis lengkap untuk semua. Ke depan, mungkin juga diperlukan booster tahunan.
Mengantisipasi hal ini, pemerintah perlu sejak sekarang merencanakan strategi vaksinasi COVID-19 jangka panjang. Peningkatan kapasitas distribusi, kesiapan infrastruktur puskesmas sebagai sentra layanan komunitas, dan integrasi pembiayaan vaksinasi COVID-19 ke sistem Jaminan Kesehatan Nasional amat dibutuhkan.
Baca Juga: Pemerintah Austria Akan Lockdown Penduduknya yang Belum Divaksin
Koalisi juga mendesak transparansi kebijakan vaksinasi nasional yang terdiri dari data hingga proses pengadaan, distribusi vaksin ke pemerintah provinsi kabupaten dan kota, dan penyaluran ke individu atau kelompok penerima. Hingga saat ini, publik masih kesulitan mengakses informasi terkait kuantitas, masa berlaku, hingga jenis vaksin, mulai dari proses pengadaan, distribusi vaksin ke pemerintah provinsi kabupaten dan kota, hingga penyaluran ke individu atau kelompok penerima.
Minimnya transparansi pendistribusian vaksin menyebabkan warga kesulitan untuk mendapatkan informasi secara real-time terkait jumlah vaksin yang sudah tiba di wilayahnya dan di mana saja vaksin tersebut sudah didistribusikan. Akibatnya, warga tidak mengetahui kapan vaksin akan datang dan diterima. Ketersediaan informasi tersebut diperlukan agar publik dapat memantau jenis vaksin yang didistribusikan proporsional dengan kebutuhan daerah, guna memastikan agar tidak ada lagi masyarakat yang kesulitan mengakses vaksin dosis kedua.
"Oleh karena itu, perbaikan sistem pendataan seharusnya menjadi agenda prioritas pemerintah sebelum vaksinasi dosis ketiga diberlakukan sehingga warga dapat mendapatkan akses vaksin dengan mudah," tegas kolasi masyarakat sipil tersebut.
Baca Juga: Pemerintah Targetkan 26,5 Juta Anak Usia 6-11 Tahun untuk Divaksinasi Covid-19
Penulis | : | Utomo Priyambodo |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR