Matahari kian meninggi, panas teriknya terasa di pori-pori tubuh. Jam dinding di kantor telah menunjukkan pukul 14.00. Dua jam sebelumnya kami telah berkemas. Hari ini kami berencana mengunjungi Taman Nasional Ujung Kulon. Setengah jam kemudian kami bergegas menuju mobil untuk segera berangkat. Berpenumpang empat orang, mobil melaju 80-100 kilometer. Sang sopir Ucok terlihat lihai mengendarai mobil menyalip mobil-mobil di sisi depan kanan-kiri.Rute diambil dari Jakarta melalui via tol-Serang-Pandeglang-Panimbang-Sumur.
Perjalanan ini merupakan pengalaman pertama bagi kami. Di sepanjang jalan kami berempat saling melempar obrolan. “Berapa jam ya sampai Ujung Kulon?” ujar Iqbal. Dia adalah kawan dari National Geographic untuk digital strategis. Di tengah obrolan seru, tiba-tiba kami menerima email untuk tiba di pantai Karang Bolong sore hari. Gas terus ditancap, mata mengarah kanan-kiri. Dengan bantuan Global Positioning System (GPS) mobil kami melesat menuju pantai Karang Bolong.
Pukul setengah lima sore kami tiba di pantai. “Kiri-kiri” ujar petugas parkir yang mangkal. Mobil diparkir, kami mempersiapkan diri untuk merekam senja di pantai itu. Tarif masuk ke area pantai cukup mahal. Setiap pengunjung dikenai tarif dua puluh ribu rupiah. Angin pantai yang kencang seolah menampar muka, suara deburan ombak menggelitik telinga. Pantai Karang Bolong menyambut dengan kemilau emas warna senja.!break!
Lampu kendaraan yang berseliweran dan rumah penduduk yang dilewati mulai menyalakan lampunya. Hari sudah makin gelap. Kami melanjutkan perjalanan kami ke Ujung Kulon. Jalan yang berkelok dan beberapa kondisi jalan berbatu parah membuat penumpang bergoyang-goyang layaknya naik kuda. “Wah parah ya jalan menuju Ujung Kulon, taman nasional lho” ujar Herzon, kawan yang bertugas untuk mengambil video selama perjalanan. Mata mulai memerah, badan mulai lemas. Pukul sebelas malam akhirnya kami membaca penginapan yang telah dipesan. Tak pikir panjang badan langsung tergeletak di kasur empu penginapan, keesokan hari subuh harus bergegas lagi menuju dermaga Sumur.
Ditengah terlelapnya tidur, tiba-tiba alarm berbunyi. Sontak harus bersiap diri untuk menuju ke dermaga Sumur. Pukul enam pagi tiba di dermaga itu. Menjelajahi sudut-sudut kampung nelayan. Nampak beberapa orang telah sibuk mengangkat diesel dari kapal. Juga dari kejauhan terlihat sebuah kapal dirakit. Sekitar tujuh orang berada di atasnya. Ada yang memahat kayu, ada yang mengecat kapal danada yang bertugas membersihkan kapal dari tumpukan bekas potongan kayu. Ternyata mereka sedang membuat kapal. Ya, memang kapal tak cukup besar, daya tampung sekitar 20 orang. Saat kami bertanya kepada sang pemilik kapal, kelak kapal ini akan dijadikan transportasi menuju Pulau Peucang, Handeleum dan sekitarnya. Kapal ini juga merangkap untuk mencari ikan di lautan lepas. Biaya pembuatan kapal cukup fantastis, yakni menghabiskan sekitar 300-500 juta rupiah.
!break!Ujung Kulon, daerah yang terletak di barat pulau Jawa ini tersohor dengan rumah bagi badak Jawa. Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) ini beralamat lengkap di Kecamatan Sumur dan Kecamatan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Banten. Badak jawa, atau badak bercula-satu kecil (Rhinoceros sondaicus) tak hanya hidup di Pulau Jawa saja, namun bisa ditemukan di sepanjang Asia Tenggara dan di India serta Tiongkok.
Luas wilayah Ujung Kulon sekitar 120.551 ha, terdiri dari 76.214 ha kawasan daratan dan 44,337 ha kawasan perairan laut. Di Ujung Kulon terdapat 5 primata, 22 jenis amfibia, 35 jenis mamalia, 240 jenis burung, 59 jenis reptilia, 142 jenis ikan dan 33 jenis terumbu karang. Tak hanya badak jawa yang dilindungi disana saja, namun satwa langka lain seperti lutung (Trachypithecus auratus auratus), owa (Hylobates moloch), macan tutul (Panthera pardus), banteng (Bos javanicus javanicus), rusa (Cervus timorensis russa) dan ajag (Cuon alpinus javanicus) juga dilindungi.
!break!Karena keberadaanya yang langka akhirnya World Wide Fund for Nature (WWF) bergerak untuk melindungi dan mengembangkan badak Jawa ini agar terhindar dari ancaman penyakit, bencana alam, ataupun kompetisi dengan pemangsa lainnya. Ujung Kulon ditetapkan oleh UNESCO sebagai Natural World Heritage Site (Situs Warisan Alam Dunia) pada tahun 1991. Hingga kini, keberadaan primadona Ujung Kulon ini diperkirakan berjumlah 50-60an ekor.
Semula tujuan kami untuk melihat bagaimana kondisi terkini Ujung Kulon setelah 25 tahun diresmikan oleh UNESCO. Tak hanya alam saja, kami ingin melihat bagaimana potensi dan aktivitas warga disana. Selama perjalanan senyum sapa warga selalu menyambut tiap kali berkunjung ke suatu tempat.
Di sepanjang perjalanan disuguhkan pemandangan gunung dan pantai yang berpasir putih. Ujung Kulon memiliki pantai yang masih asri. Pantai disepanjang daerah Sumur memiliki keindahan yang bisa menghipnotis indera. Beberapa wisatawan bercanda-tawa sambil berenang di pinggir laut, membuat kami betah sejenak disana. Sore itu pun matahari memanjakan dengan guyuran cahaya emas bahwa sang surya akan terbenam di ufuk barat.
!break!Selanjutnya kami berkunjung ke Ciwisata (Cinibung Wisata). Desa ini merupakan kampung pengrajin souvenir badak di Ujung Kulon. Hasil produksinya meliputi gantungan kunci, pembatas buku, patung dan pernak – pernik yang berbentuk badak. Ciwisata ini dikelola oleh masyarakat yang dibina olehWWF, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pandeglang dan Balai Taman Nasional Ujung Kulon.
Jalan yang belum diaspal menuju Ujung Kulon membuat waktu tempuh kian lama. Membuat kepala kami pusing karena jalannya sangat bergelombang. Potensi wisata dan pesona alamnya seharusnya bisa menjadi andalan pariwisata. Andaikan jalan yang berbatu itu telah diaspal bisa dibayangkan berapa puluh, ratus wisatawan yang datang ke Ujung Kulon. Kondisi ini harusnya menjadi perhatian pemerintah setempat agar Ujung Kulon hidup dengan potensi yang dimilikinya.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR