Dalam sebuah keputusan bersejarah, rakyat Inggris memutuskan meninggalkan Uni Eropa dalam referendum yang memicu semangat atas isu-isu imigrasi dan kedaulatan. (Baca : Negara-Negara Uni Eropa Serius Tangani Limbah Plastik)
Setelah semua daerah melaporkan hasil referendum Jumat pagi, pilihan "Leave" atau meninggalkan Uni Eropa meraih 51,89 persen suara. Berita ini memicu reaksi negatif di pasar-pasar Asia dan mata uang pound Inggris anjlok ke tingkat terendah dalam tiga dekade terakhir.
Jumlah orang yang memilih tinggi, lebih dari 70 persen meskipun hujan badai turun di hari referendum, yang mencerminkan perasaan kuat akan isu ini di negara yang tingkat imigrasinya telah naik dua kali lipat dalam 16 tahun terakhir.
Pemungutan suara itu tampak didorong oleh sentimen-sentimen anti-kemapanan dan perasaan bahwa struktur tata kelola Uni Eropa mengambil terlalu banyak kendali dari rakyat Inggris pada umumnya.
"Biarkan 23 Juni tercatat dalam sejarah sebagai hari kemerdekaan kita," tokoh kampanye anti-UE Nigel Farage mengatakan kepada para pendukungnya di Westminster Jumat pagi.
Farage memimpin Partai Independen Inggris, yang mendukung pembatasan imigrasi yang keras. Ia mengatakan perkiraan-perkiraan pemilihan umum kana menjadi "kemenangan untuk rakyat, kemenangan untuk orang biasa, kemenangan untuk warga yang jujur."
Perdana Menteri David Cameron, yang memimpin kampanye untuk tetap berada dalam UE, dijadwalkan untuk mengeluarkan pernyataan Jumat pagi. (Baca pula : Di Uni Eropa, Hepatitis Lebih Mematikan Daripada HIV)
Para analis mengatakan bahwa keputusan para pemilih untuk keluar dari UE berarti bahwa Cameron telah kehilangan sebagian besar mandatnya dan sekarang ada dalam tekanan untuk mundur.
Pria yang memimpin kampanye "Leave", mantan walikota London Boris Johnson, juga dari Partai Konservatif yang sama dengan Cameron, diperkirakan akan menggantikannya sebagai perdana menteri.
Keputusan untuk keluar dari UE membuka babak ketidakpastian baru untuk Inggris, yang sekarang harus membuat hubungan-hubungan perdagangan baru dengan Eropa daratan dan memulai proses melepskan diri dari blok beranggotakan 28 negara itu, membalik proses yang dimulai 40 tahun lalu ketika Inggris bergabung dengan apa yang saat itu disebut Masyarakat Ekonomi Eropa.
Para analis mengatakan proses pelepasan itu mungkin akan memerlukan waktu dua tahun atau lebih sampai tuntas.
Para pemilih tampaknya mengabaikan seruan pemerintah dan sektor usaha, yang memperkirakan konsekuensi ekonomi yang buruk untuk Inggris. Departemen Keuangan memperkirakan bahwa meninggalkan Uni Eropa akan membuat rata-rata keluarga menghabiskan hampir US$6.000 per tahun.
Para pemimpin usaha memperingatkan bahwa pembatasan imigrasi yang baru akibat Brexit atau keluar dari UE akan membuat mereka mengalihkan ribuan pekerjaan di Inggris ke negara-negara yang masih ada dalam UE.
Pada akhirnya, para pemilih Inggris tampak memilih risiko independen daripada masih ada dalam manajemen UE yang dianggap tidak demokratis dan semakin besar serta intrusif. (Baca juga : Sebuah Desa di Inggris Dijual Rp 375 Miliar)
"UE telah menyusup ke segala arah. Lembaga ini mulai sebagai persetujuan perdagangan. Lalu menjadi komunitas. Sekarang sebuah serikat dan menginginkan mata uang sendiri dan pasukan pertahanan sendiri. Hanya masalah waktu sampai ini menjadi negara," ujar Lord David Owen, mantan menteri luar negeri Inggris, kepada VOA. [hd]
Penulis | : | |
Editor | : | Irfan Hasuki |
KOMENTAR