Kisah sang Nahkoda
Perjalanan kembali berlanjut. Dahun membawa kami menyusuri jalan desa yang terbuat dari semen. Di saat Matahari tepat berada di atas kepala dan panasnya membakar ubun-ubun, menjejak jalan semen ini cukup menyiksa telapak kaki. Di tambah lagi, aneka “ranjau darat” banyak berserakan di mana-mana. Saya teringat sandal yang tertinggal di perahu. Seandainya tadi saya bawa…
“Bilang sama orang Perikanan dan Kelautan, pasang pembatas di laut kita, biar kami tidak melanggar batas negara lagi.”
Di desa ini, masyarakatnya mayoritas bekerja sebagai nelayan atau petani rumput laut. Dulu, mutiara pernah menjadi komoditi andalan daerah itu. Tetapi akibat eksploitasi berlebih, bisnis mutiara mulai runtuh pada tahun 2000-an. Saat ini, rumput lautlah yang menjadi nafas penduduk Pulau Landu.
Siang itu, suasana desa cukup lengang. Tak banyak penduduk yang berlalu lalang atau beraktivitas di luar rumah. Babi-babi peliharaan tertidur di bawah sepetak bayangan pohon yang tumbuh di halaman rumah penduduk. Kami melintasi gereja, singgah sebentar ke rumah kepala desa, dan berhenti di sebuah rumah.
“Kita duduk-duduk dulu di sini,” kata Dahun, “ini rumah nenek saya,” tambahnya.
Dengan cekatan ia menarik beberapa kursi plastik untuk kami ke teras rumah. Kopi-kopi dengan uap mengepul dihidangkan bersama biskuit krim cokelat. Aroma kopi menusuk-nusuk hidung. Dalam rombongan itu, hanya saya yang berpuasa. Kawan-kawan lain meraih gelas kopi atau mencomot biskuit. Saya melirik ke arah jam di ruang tamu. Ah, masih enam jam sebelum waktu buka puasa tiba.
Setelah menyesap kopinya, Dahun mulai bercerita. “Saya sudah tiga kali ditangkap tentara Australia karena melanggar perbatasan. Satu kali saya dipenjara di sana selama enam bulan,” tuturnya. Alih-alih menunjukkan kesedihan atau penyesalan, raut wajahnya justru sumringah. Saya bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mungkin orang berkisah tentang kehidupannya di penjara dengan wajah bahagia seperti habis mendapat lotre begitu?
Selama di penjara, ia sempat dipindahkan ke blok lain karena terlibat perkelahian dengan sesama narapidana. Di blok baru, ia diangkat sebagai ketua. Karena sudah bosan makan ikan ketika di rumah, saat di penjara Dahun berkata pada penjaga, “Kita orang Indonesia tidak bisa makan ikan, nanti sakit.”
“Sebenarnya itu hanya saya buat-buat saja, biar bisa makan daging tiap hari,” ujarnya.
Suatu saat, pejabat KBRI pernah menjenguknya di penjara dan bertanya, “Kenapa kamu bisa sampai melanggar perbatasan?”
Dahun menjawab dengan lantang, “Saya tidak tahu kalau saya melanggar perbatasan. Saya baru tahu pas ditangkap. Bilang sama orang Perikanan dan Kelautan, pasang pembatas di laut kita, biar kami tidak melanggar batas negara lagi.”!break!
Ketika bosan berada di penjara, Dahun punya trik khusus agar bisa berjalan-jalan menghirup udara segar di luar dan menikmati pemandangan, yaitu dengan berpura-pura sakit. Para sipir di sana khawatir begitu ada tahanan yang sakit, dan bergegas membawanya ke rumah sakit berfasilitas lengkap.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR