Baru-baru ini, Pemerintah Indonesia memutuskan kembali mengeksekusi mati 14 terpidana mati narkotika, termasuk 10 warga negara asing.
Eksekusi akhirnya dilakukan terhadap empat terpidana mati tersebut Jumat (29/7/2016) dini hari, sementara 10 lainnya masih dalam masa penangguhan.
Ini adalah kali ketiga eksekusi di bawah kepemimpinan Jokowi. Eksekusi pertama dilakukan terhadap 6 terpidana pada 18 Januari 2015 lalu. Sedangkan 8 orang berikutnya dieksekusi pada gelombang kedua, 29 April 2015.
(Baca juga: 13 Negara yang Menjatuhkan Hukuman Mati pada Ateis)
Keputusan eksekusi mati tersebut membuat pemerintah Indonesia menjadi sorotan organisasi-organisasi hak asasi manusia (HAM) nasional maupun internasional. Mereka menuntut agar hukuman mati di Indonesia dihapuskan.
Selama ini, penerapan hukuman mati memang selalu menuai pro dan kontra dari berbagai kalangan masyarakat, terutama dari kalangan akademisi, pakar hukum, aktivis HAM, maupun para pengambil kebijakan.
Pihak-pihak yang menentang penerapan hukuman mati berargumentasi, hukuman mati melanggar hak manusia yang paling fundamental, yakni hak untuk hidup. Hukuman mati juga tidak dapat memberikan efek jera seperti yang diharapkan.
(Baca juga: Pro dan Kontra Hukuman Mati)
Selain itu, mereka menilai masih banyak kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Dengan demikian, ada kemungkinan eksekusi dilaksanakan terhadap orang yang tidak bersalah.
"Praktek mafia peradilan, kriminalisasi, korupsi, dan rekayasa kasus masih mewarnai proses penegakan hukum di Indonesia. Dalam kondisi demikian, penerapan hukuman mati sangat berbahaya," kata Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf saat jumpa pers di Kantor Imparsial, Jakarta, Minggu (24/7/2016), seperti dikutip dari Kompas.com.
Ia menambahkan, pelaksanaan hukuman mati berbeda dengan hukuman lainnya. Ketika eksekusi mati dilakukan, tetapi kemudian ditemukan bukti baru yang mampu meringankan hukuman terpidana, maka semua itu telah terlambat.
(Baca juga: 70 Tahun Setelah Eksekusi Mati, Dia Dinyatakan Tidak Bersalah)
Sementara itu, berdasarkan keterangan yang dihimpun dari Kompas.com, Koordinator Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Antonius Badar, mengatakan bahwa penerapan hukuman mati tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penegakan hak asasi manusia.
"Jelas, penerapan hukuman mati itu tidak sesuai dengan nilai-nilai universal hak asasi manusia. Bahkan banyak negara sudah menghapus kebijakan itu," kata Badar.
Bukan hanya dari dalam negeri, desakan agar pemerintah Indonesia memberlakukan moratorium hukuman mati juga datang dari dunia Internasional.
(Baca juga: Kapten Feri Korsel Dituntut Hukuman Mati)
Komisioner Tinggi PBB untuk HAM Zeid Ra\'ad Al Hussein menyatakan keprihatinannya atas kurangnya transparansi dan ketaatan akan jaminan peradilan yang adil. Ia mendesak pemerintah Indonesia agar memberlakukan moratorium hukuman mati.
!break!
Bagian dari penegakan hukum Indonesia
Meski lebih dari 140 negara sudah menghapuskan hukuman mati, namun masih ada negara-negara yang menerapkan hukuman mati, termasuk Indonesia.
Di Indonesia, hukuman mati diatur dalam pasal 10 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Menanggapi kritik dan seruan terhadap pelaksanaan hukuman mati, juru bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Arrmanatha Nasir menyatakan bahwa hukuman mati merupakan bagian dari penegakan hukum di Indonesia dan tidak bertentangan dengan rezim hukum internasional.
(Baca juga: Ketahui Metode Hukuman Mati di Korea Utara)
"Kita perlu tegaskan hukuman mati itu tidak bertentangan dengan rezim hukum internasional. Di Indonesia hukuman mati masih merupakan bagian dari hukum positif berlaku di Indonesia dan tidak bertentangan dengan hak hidup diatur dalam Undang-undang Dasar 1945," ujar Arrmanatha dalam jumpa pers mingguan di kantornya, Kamis (28/7), seperti dikutip dari Voa Indonesia.
Hal senada juga diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo. Dia menegaskan, eksekusi mati perlu dilakukan untuk memberikan kepastian hukum. Hukum positif di Indonesia masih menganut hukuman mati.
Oleh karena itu, selama sudah diputus pengadilan dan grasi telah ditolak, eksekusi dapat dijalankan.
(Baca juga: Bersama Wolter Monginsidi Sebelum Dihukum Mati)
"Jika pengadilan telah memutuskan dan sudah ada upaya hukum yang dilalui, untuk memberi kepastian hukum, itu harus dilaksanakan," kata Presiden, Senin (25/7) di Jakarta, kepada Kompas.com.
Pemerintah Bakal Evaluasi Hukuman Mati
Dengan begitu banyaknya kritik yang mengalir dari dalam maupun luar negeri, serta desakan agar pemerintah Indonesia meniadakan hukuman mati, akankah hukuman mati di Indonesia dihapuskan?
Ternyata, meski saat ini eksekusi mati tetap dilakukan, namun bukan berarti pemerintah tutup telinga atas segala kritik dan penolakan terhadap eksekusi mati yang datang dari dalam maupun luar negeri.
Dihimpun dari Kompas.com, Sekretaris Kabinet Pramono Anung mengatakan, "Berbagai usulan yang timbul tentunya akan dipertimbangkan oleh pemerintah karena melaksanakan hal yang seperti ini bukan hal yang menggembirakan."
Pramono menambahkan, pemerintah akan membahas dan mengevaluasi aturan terkait hukuman mati bersama DPR.
(Baca juga: Ketika Hukuman Mati di Tiang Gantungan Batal Secara Dramatis...)
Hal serupa juga dikatakan oleh Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Ade Komaruddin. Ia menuturkan, DPR tengah membahas rancangan perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Aturan mengenai pidana mati, menurutnya, masih dalam agenda pembahasan.
"Yang pasti kami punya pekerjaan merevisi KUHP yang setebal itu. Akan segera terselesaikan," pungkasnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR