Nyonya Nakamura nampak sehat ketika ia tengah berdandan di rumah saudara iparnya di Kabe. Tak tampak luka lecet atau terbakar pada tubuhnya akibat dari ledakan bom atom nuklir yang menghancurkan Hiroshima, Jepang pada 6 Agustus 1945. Namun selama seminggu, kala menjadi tamu dari pendeta Katolik di Novitiate, Nyonya Nakamura mengalami mual dan rasa ingin muntah.
Ia pun menyadari sesuatu terjadi pada tubuhnya tatkala ia menyisir rambutnya. Segumpal besar rambut tersangkut pada sisirnya. Hal yang sama terjadi ketika ia menyisir rambutnya kembali. Tanpa ia menyisir, tiga hingga empat hari selanjutnya, rambutnya mengalami kerontokan hebat hingga rambutnya mengalami kebotakan. Nonya Nakamura pun bersembunyi dalam rumahnya dan menolak untuk keluar dari sana.
Suatu hari, Nyonya Nakamura dan putri terkecilnya Myeko, merasakan lelah ketika terbangun. Tubuh keduanya terasa lemah hingga memaksa mereka untuk tetap berbaring di tempat tidur.
Hal yang sama terjadi pada Pastur Kleinsorge, meski ia menolak untuk menceritakan hal yang terjadi pada dirinya pada pendeta Jesuit lainnya. Dalam setengah perjalanannya menuju Novitiate ketika pulang dari Bank Yokohama, tubuhnya merasa sangat lemah hingga koper kosong di tangannya terasa sangat berat.
John Hershey mewawancarai mereka dan korban-korban lainnya ketika bom atom dijatuhkan di Hiroshima. Catatan Hersey berjudul Hiroshima, terbit pertama kali di The New Yorker pada Agustus 1946. Gaya penulisannya fiksi, namun bersumber dari tangan pertama. Atas dedikasinya dalam dunia jurnalisme, Hersey mendapat anugerah Pulitzer. Sampai sekarang, karya-karya tulisnya menajdi rujukan pelatihan gaya jurnalisme sastrawi.
Kepada Hersey, pastor itu mengenang bahwa beberapa hari kemudian ia nyaris pingsan saat tengah memimpin sebuah misa. Hingga akhirnya ia tak sanggup melanjutkan untuk memimpin misa sampai akhir.
"Apa yang kau lakukan dengan lukamu?", tanya rektor Novitiate yang setiap hari merawat sang pastor. Luka pada tubuhnya akibat ledakan atom nuklir yang meluluhlantakan Hiroshima itu terus membuka lebih lebar, membengkak hingga memerah akibat dari infeksi.
Pastor Kleinsorge, Nyonya Nakamura, dan putrinya, Myeko adalah tiga dari sekian banyak korban dari ledakan bom atom nuklir di Hiroshima yang tidak cukup menyadari mengenai apa yang terjadi pada tubuh mereka. Tubuh mereka mengalami penyakit aneh yang selalu berubah-ubah, yang kemudian dikenal sebagai "penyakit akibat radiasi".
Gelombang Ledakan
Jika pengeboman Hiroshima mematikan ratusan nyawa, maka pemusnahan massal yang sesungguhnya terjadi pasca tragedi tersebut. 71 tahun telah berlalu, namun efek yang dihasilkan dari pengeboman tersebut menjadi sebuah kenang-kenangan mematikan yang masih menghantui negeri sakura itu.
Hingga akhir 1945, korban yang meninggal akibat dari tragedi kemanusiaan tersebut masih terus bertambah hingga 140 ribu jiwa. Sekitar 85 persen bangunan, tumbuhan, dan lansekap kota rata dengan tanah akibat disapu oleh gelombang panas yang mencapai batas stratosfir.
Namun kenyataannya, dampak negatif dari tragedi tersebut tak berhenti sampai disitu. Dari semua kehancuran yang terjadi, 50 persen adalah akibat dari yang dihasilkan oleh efek ledakan,35 persen gelombang panas tinggi, dan 15 persen dari gelombang radiasi.
Dari jatuhnya bom nuklir tersebut, gelombang panas yang dihasilkan akan mampu membakar tubuh seseorang. Tak hanya sampai kulit, namun juga jaringan dan seluruh organ tubuh mereka. Dalam jarak 3 km, kulit akan terbakar dan meleleh. Mereka yang tak langsung meninggal seketika mungkin akan bertahan dalam beberapa hari, sebelum akhirnya menemui ajal mereka juga.
Gelombang radiasi menjadi sebuah bahaya laten yang menghantui masyarakat Jepang, bahkan hingga saat ini. Hal tersebut akibat dari radiasi zat radioaktif Uranium-235 yang bercampur dengan udara hingga terhisap dalam tubuh. Gelombang ini dipercaya sebagau penyebab utama tewasnya separuh dari seluruh korban, terutama bagi mereka yang berada dalam jarak 1 km dari pusat guncangan.
Kenang-kenangan Dari Pengeboman
Berbagai penyakit dalam tubuh menjadi kenang-kenangan yang tak lepas dari kehidupan masyarakat Jepang. Hal itu menjadi dampak lanjutan yang dihasilkan dari gelombang radiasi pasca ledakan.
Penyakit-penyakit tersebut menggerogoti turunan-turunan dari korban ledakan yang bertahan hidup, seperti penyakit leukimia, keloid, tumor ganas, hingga microchepaly.
Korban yang berada dalam radius 20 km dari hiposenter mengalami keloid atau bekas luka pada tubuh. Kebanyakan hal tersebut terjadi akibat dari udara panas hingga kontak dengan api. Hal tersebut membawa dampak tak hanya bagi fisik, namun juga psikologis dari korban.
Leukimia sendiri mengalami puncaknya tatkala 7-8 tahun setelah ledakan terjadi. Kanker pun harus dirasakan oleh sejumlah korban yang rata-rata menyerang anak-anak. Radiasi juga menyerang janin ibu hamil. Jumlah radiasi besar akan langsung menewaskan janin dalam kandungan. Kalaupun tidak, maka microchepalus adalah penyakit yang harus dihadapi oleh bayi jika sudah lahir. Penyakit ini mengakibatkan terjadinya keterbelakangan mental.
Sebuah Peringatan Untuk Perdamaian
Jepang memperingati 71 tahun tragedi kemanusiaan pengeboman atom di Hiroshima pada Sabtu, 6 Agustus silam. Hal tersebut dilaksanakan tak lama setelah kedatangan Presiden Amerika Serikat Barack Obama ke Hiroshima Peace Memorial Park.
Walikota Hiroshima, Kazumi Matsui berharap bahwa kunjungan Obama tersebut menjadi sebuah tanda upaya masyarakat dunia untuk perdamaian.
"Saya sekali mendesak pemimpin dunia untuk mengunjungi kota yang dibom atom ini," ujar Matsui.
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe juga mengungkapkan komitemen Jepang dalam usaha memwujudkan perdamaian dunia, terutama pembebasan dunia dari penggunaan nuklir sebagai senjata.
"Kita tidak boleh mengalami pengalaman tragis Hiroshima dan Nagasaki terulang kembali," ucap Abe dalam peringatan tersebut.
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | test |
KOMENTAR