KUIS:
Sebutkan perubahan naskah tulisan tangan Bung Karno dibanding Naskah Proklamasi yang diketik:
a. Kata "tempoh" menjadi "tempo"
b. Rangkaian "17-08-05" menjadi "Hari 17-08-05"
c. Rangkaian "Wakil-wakil bangsa Indonesia" menajdi "Atas nama bangsa Indonesia"
d. Betul semua
“Jawabannya mudah sekali. Bandingkan saja baik-baik kedua naskah ini. Bagaimana? Ya, kalian memang pintar. Jawabannya: d. Betul semua!”
Saya tak dapat menahan senyum lebar memperhatikan Jaya, si pemandu, cerdik menghidupkan suasana. Siapa bilang kunjungan ke museum pastilah “garing” (baca: membosankan)? Ini jadi keriaan kedua saya di sini. Tadi, begitu memasuki “Gedung Putih” ini, saya langsung terkesiap. Siap-siap menemui kesunyian (baca: tiada pengunjung) di Museum Perumusan Naskah Proklamasi, tapi yang saya temui kejutan: di sudut Ruang I, di bawah lukisan, tuan rumah Laksamana Muda Tadhasi Maeda menerima Ir Soekarno, Drs Moh Hatta dan Mr Ahmad Soebardjo yang baru kembali dari ‘penculikan’ ke Rengas Dengklok, 16 Agustus 1945, pukul 22:00 mengutarakan rencana persiapan pernyataan kemerdekaan Indonesia, bersimpulah tujuh bocah putra-putri, seorang wanita muda—yang saya duga, sang guru—dan pria muda yang sedang menjelaskan isi museum dengan bersemangat lewat cara bercerita tak biasa.
Hanya sekitar 1 m dari mereka, tertata seperangkat kursi yang diduduki para tokoh dalam lukisan itu. Saya melayang ke lorong waktu. Peristiwa itu, tempat ini, nyata, di sini. Saya ikuti Jaya mengantar ibu guru Sulasmi Werdiningsih dan murid-murid SD Laboratorium PGSD FIP UNJ itu beranjak ke Ruang II. Di sini, patung Soekarno, Hatta, Ahmad Soebardjo dalam ukuran sebenarnya duduk mengelilingi meja bundar kayu, merumuskan Naskah Proklamasi RI pada pukul 03:00 dini hari, 17 Agustus 1945. Soekarno menuliskan di secarik kertas, yang kini diproyeksikan di dinding.
Di Ruang III, jelang fajar, di meja persegi panjang kayu dan kursi-kursi bersandaran tinggi seperti yang biasa kita lihat di film-film ksatria, rumusan itu dibahas 29 tokoh—di antaranya Ki Hadjar Dewantara, R Otto Iskandardinata. Setelah disepakati, beberapa kata dan ejaan dicoret dan diganti Berbekal secarik kertas itu, Sayuti Melik mengetik naskah di mesin ketik pinjaman dari militer Jerman di ruang kecil, didampingi BM Diah. Selesai, naskah ketikan dibawa kembali ke Ruang III untuk disahkan, ditandatangani. Lalu dirundingkan, kapan dan di manakah pernyataan kemerdekaan itu akan dilakukan.
Dari ruang bawah yang nyaman—luas, lapang, antar ruang tanpa penyekat, pintu, jendela lebar berventilasi membebaskan udara masuk keluar, sejuk tanpa AC—kami meniti tangga ke lantai 2, menengok kamar tidur dan kamar mandi yang dulu dipakai Maeda, Laksamana Jepang yang memahami betul keingin-an bangsa yang pernah didudukinya 3,5 tahun itu. Dari jendela dan balkon bangunan Art Deco yang dibangun pada 1920-an ini kami bisa melepas pandang ke halaman belakang berpohon besar. Di pekarangannya ada lubang perlindungan!
Dipandu Jaya, saya dan murid-murid itu hati-hati menuruni tangga yang disenderkan di dinding dalam “sumur” yang kemudian memiliki lorong tersisa 3 m. Konon, dulu lubang ini tembus hingga Taman Surapati di barat laut—untuk meloloskan diri. Oh, museum ini menyimpan petualangan!
Di bawah beringin tua yang belitan akar gantungnya telah berpayung, sang guru dan para murid berfoto-foto di muka rumah di daerah elite Menteng yang pada 1931 tercatat dimiliki PT Asuransi Jiwasraya dan saat Proklamasi berada di Jalan Miyako Dori itu. Saya merasa telah kenal lama dengan mereka, dan tak menampik ketika mereka mengajak mengikuti petualangan dari museum ke museum dengan mikrolet sewaan. Kunjungan berikutnya: Tugu Proklamasi!
Ya, hanya tugu yang tersisa dari rumah kediaman Soekarno yang diputuskan jadi tempat pembacaan Naskah Proklamasi pada 17 Agustus 1945 pukul 10:00 itu. Pagi ini masih beberapa menit selepas pukul 11:00, tapi Matahari mulai garang. Ibu guru dan murid-murid segera mengarah ke monumen patung besar Soekarno-Hatta, 17 pilar, dan marmer hitam Naskah Proklamasi yang diresmikan Presiden Soeharto, pada 17 Agustus 1980 untuk mengamati dan berfoto. Padahal, titik Bung Karno berdiri memproklamasikan Kemerdekaan RI berada di ‘Tugu Petir’ 17m yang dibangun 1 Januari 1961 dengan cangkulan pertama Bung Karno. Lambang petir bak Perusahaan Listrik Negara (PLN) ada di puncak bulatan kepala tugu yang di bagian bawah tercantum, “Di sinilah dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta.” Tugu ini pernah jadi lambang KTP DKI Jakarta sebelum Monas dibangun.
Di lokasi ini masih ada satu obelisk putih, Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia “Atas Oesaha Wanita Djakarta” yang diresmikan Perdana Menteri (PM) Sjahrir, 17 Agustus 1946 dibayangi Sekutu yang ditumpangi usaha Belanda menjajah kembali.
Tetapi mengapa rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 itu diruntuhkan pada 1960? Konon, atas perintah Bung Karno yang dikenal amat menghargai sejarah, yang tak ingin rumah ini dikultuskan, dan berharap semangat merdeka sajalah yang terus hidup.
“Selepas magrib, pembongkaran rumah dimulai. Bisa disaksikan dari vila rumah kami yang menghadap Rumah Proklamasi itu,” kenang Hendro Sumardjan (65), putra sosiolog Selo Sumar-djan, yang menghabiskan masa kecilnya di Jalan Pegangsaan Timur 54, bagian dari halaman Rumah Proklamasi, “Kami bahkan sempat ngobrol dengan petugas pembongkaran.”
Bung Karno tinggal di Rumah Proklamasi selama sekitar Juli 1942—awal Januari 1946, jelang mengungsi ke ibukota darurat RI, Yogyakarta. Selanjutnya rumah itu ditempati PM Sjahrir yang ulang-alik Jakarta-Yogyakarta. Usai penyerahan kedaulatan, Presiden Soe-karno langsung tinggal di Istana Merdeka. Tapi setiap 17 Agustus, Bung Karno selalu kembali ke Rumah Proklamasi untuk memimpin upacara peringatan Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan RI.
“Ribuan orang selalu hadir saat upacara,” kisah Hendro Sumardjan, sambil menambahkan bahwa, “Setelah Rumah Proklamasi dibongkar, Bung Karno tak pernah lagi datang. Upacara Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan RI dan Penaikan Bendera Pusaka pun pindah ke Istana Merdeka.”
Hanya saya, guru dan murid-murid SD yang berkunjung ke sana pada siang itu. Berbeda sekali dari suasana sore yang pernah saya tangkap beberapa kali. Warga dewasa dan anak-anak yang tinggal di kampung sekitarnya memanfaatkannya sebagai arena rekreasi. Bermain bola, berjalan-jalan atau duduk bercengkerama di kehijauan rumput dan kerindangan pepohonan lahan 4 ha itu. Di suatu sudut, sejumlah pemulung bahkan menjadikannya sebagai rumah luas beratap langit. Ada yang menyayangkan suasana tak tertib ini.
Saya mengingat syarat Bung Karno ketika meminta dicarikan rumah: rumah kecil saja tak mengapa, tapi halaman harus luas agar bisa menampung rakyat yang banyak. Keramaian di sore dan akhir pekan itu agaknya memenuhi keinginannya. Menampung rakyat kecil yang tak memiliki atau kehilangan lahan bermain. Mereka, yang hingga puluhan tahun merdeka, belum sepenuhnya menikmati arti kemerdekaan.
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR