Yogyakarta adalah kota tempat saya dan keluarga bermukim sekian lama. Namun kami belum pernah mengunjungi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat secara mendalam. Maka berbekal info dari internet dan kerabat, kami pun menghampiri kembali dengan sepenuh hati.
Keraton ini berada di pusat kota, melintang di antara aliran Sungai Winongo dan Code. Dirancang Sri Sultan Hamengku Buwono I segera usai Perjanjian Giyanti, 13 Februari 1755. Belum setahun, Oktober 1756, pembangunan istana, ibukota dan bentang utama usai. Keraton ini pernah berperan penting sebagai pusat Kerajaan Mataram. Ketika Belanda membonceng Sekutu untuk menjajah lagi, 4 Januari 1946, atas jaminan Sri Sultan HB IX, ibukota RI dipindahkan ke Yogyakarta.
Gunung Merapi, elemen penting kosmologi Keraton, letusan diikuti gempa 1925 menghancurkan beberapa bagian penting keraton. Di masa Sri Sultan HB VIII, pemugaran berlangsung 6 tahun. Hampir 8 dekade kemudian, gempa Bantul 2006 merobohkan Bangsal Trajumas. Saat ini, tiga perempat area Keraton terbuka untuk umum
Ada dua pilihan pintu masuk: gerbang Pagelaran atau Kompleks Sri Manganti. Kami pilih Gerbang Pagelaran di selatan Alun-Alun Utara, setelah membeli tiket masuk melalui sisi barat. Bangsal besar Pagelaran, tempat digelar acara besar Keraton, juga ruang pajang baju adat kerabat keraton. Kami naiki tangga ke Sitihinggil (Tanah Tinggi), singgasana penobatan raja.
Kami keluar lewat pintu yang sama ketika kami masuk menuju Kompleks Sri Manganti di sisi selatan Pagelaran. Jalan cukup padat oleh deretan bus pariwisata juga lapak benda kenangan. Di meja pembelian tiket, saya meminta jasa pemandu wisata. paruh baya
Bangsal Sri Manganti di sisi kanan, tempat pentas seni pertunjukan bagi pengunjung—sendratari, wayang orang, macapat (tembang puisi Jawa), wayang golek. Di seberangnya, Bangsal Trajumas tempat Gamelan Kiai Guntur Madu (asal Demak berusia 500-an tahun) dan Kiai Naga Wilaga (Yogyakarta, 250-an tahun). Pada Grebeg Maulud (perayaaan hari lahir Nabi Muhammad SAW) tiap tahun, sepasang gamelan ini dimainkan di Masjid Agung atau Gedhe Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Selepas gerbang utama Gerbang Danapratapa, meski matahari terik, terasa sejuk karena di banyak sudut tumbuh pohon sawo kecik dan jambu bol. Taman terawat baik.
Ada beberapa bagian yang hanya bisa dilihat dari kejauhan. Antara lain, Gedhong Jene, yang khusus Sri Sultan HB X sediakan bagi tamu kenegaraan; Gedhong Purworetno, ruang kerja Sultan sebagai Raja Yogyakarta, sedangkan sebagai Gubernur Provinsi DIY di Kompleks Kepatihan Jalan Malioboro.
Yang juga hanya bisa dilihat dari kejauhan, Bangsal Kencana dan Bangsal Manis untuk jamuan kenegaraan. Hirarkie kerajaan dapat dilihat di Bangsal Kencana, joglo tiga lantai. Yang teratas, bagi Sultan dan tamu setingkat pimpin-an kerajaan atau pemerintahan; kedua, untuk pangeran dan puteri—adik lelaki dan perempuan Sultan; terbawah, untuk abdi dalem bergelar tertinggi Kanjeng Raden Tumenggung (KRT). Abdi dalem tanpa gelar hanya sebatas luar bangsal.
Kaputren, tempat tinggal putri Sultan hanya dapat dilihat dari kejauhan, mengingat Sri Sultan HB X memiliki dua putri yang masih tinggal di sana. Tapi Bangsal Kasatrian untuk latihan tari tiap Minggu terbuka bagi umum.
Kami senang bisa melihat lebih dekat sebagian besar bangunan dalam keraton sebagai museum benda bersejarah Keraton, didominasi peralatan makan hadiah negara kerabat, seperti Prancis, Belgia, Belanda, Italia, Jepang, China, Malaysia. ”Pada peristiwa khusus, koleksi ini masih digunakan dalam jamuan makan,” jelas Endang Pur, pemandu.
Ada koleksi kursi Sri Sultan HB VII dan permaisuri. Dari ukurannya, bisa dibayangkan sosok Sultan tinggi besar. Koleksi batik motif khas kerajaan cukup menarik berkat penyandingan dokumentasi foto ketika kain batik dikenakan pada peristiwa khusus seperti pernikahan putra-putri, supitan/ khitan, nujuh bulan kehamilan permaisuri atau putri, tedhak sitèn (upacara bayi pertama kali menginjak tanah).
Di ruang koleksi lukisan, beberapa karya maestro Raden Saleh tersimpan, salah satunya lukisan potret diri Sri Sultan HB VI. Sayangnya tak cukup terawat baik—terlebih di daerah tropis berkelembaban tinggi, tak ber-AC. Siang itu, lampu neon tak menyala. Andai saja tiap lukisan dilengkapi lampu sorot, wajah-wajah itu bisa kami nikmati.
Agaknya wajar jika selama ini kami belum pernah mengunjungi Keraton secara “serius.” Sejatinya banyak informasi ritual yang menarik diketahui. Misalnya, tiap hari pukul 11.00 WIB, beberapa abdi dalem wanita mengantarkan teh dan kopi dari Gedhong Patehan (Tempat Penyajian Teh) ke Keraton Kilen—kediaman Sultan.
Di empat bagian bangunan keraton, kami mendapatkan secara lengkap paparan informasi, dokumentasi, memorabilia Sri Sultan HB IX. Ada pakaian-pakaian pakaian kerajaan, supitan, sepakbola dan berkuda, seragam pandu; kursi, meja kerja; lencana tanda jasa, kehormatan dan dokumentasi foto, kliping koran, sertifikat kelulusan studi di Negeri Belanda, hingga surat keputusan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional setelah beliau wafat.
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR