Melangkahkan kaki melewati kembali pintu gerbang Masjid Baiturahhim menjelang tengah hari, kami merasakan paparan surya sekadar menghangat. Lindungan pepohonan raksasa di sekitar masjid yang berada dalam Kompleks Istana Merdeka, Jakarta, memberi keteduhkan. Sebelumnya, sekitar tiga puluh menit lalu, kami telah melalui pintu gerbang yang sama untuk mengawali tur singkat di Istana Merdeka.
Begitu singkatnya, hingga para pengunjung, termasuk kami, hanya sempat berfoto bersama di tangga—layaknya anggota dewan pemerintahan, lalu memasuki bagian dalam istana, melewati serambi halaman tengah dan Istana Negara, dan mengakhiri tur melewati koridor di sisi Wisma Negara yang menampilkan kolase foto kegiatan Presiden dan Ibu Negara Republik Indonesia (RI).
Bahkan penuturan sejarah istana pun kami peroleh melalui tayangan video di ruang tunggu bagi para pengunjung, yang mengisahkan tentang pembangunan istana oleh arsitek Ir HM Debbete JB Drossares, pada akhir abad 19, atas prakarsa Ir Couvee Djen. Istana bergaya neoklasik yang megah dan anggun ini merupakan kediaman resmi para petinggi sejak zaman Hindia Belanda hingga Indonesia Merdeka, dari Gubernur Jenderal Jacob Andries van Braam hingga Ir Soekarno dan Abdurrahman Wahid.
Seiring pengibaran bendera Merah-Putih ke puncak tiang, terdengar kumandang lagu kebangsaan Indonesia Raya dan pekik, ”Merdeka! Merdeka! Hidup Indonesia!” memenuhi halaman istana yang kala itu bernama Istana Gambir.
Selama tur yang berlangsung singkat itu, hanya sekelumit kisah yang dapat kami simak dari pemandu tur istana tentang eksterior dan interior, serta fungsi ruang demi ruang dalam istana, yang menyimpan koleksi benda seni legendaris, antara lain lukisan Pangeran Dipenegoro, patung sang Proklamator Ir Soekarno dan Mohammad Hatta, juga Jenderal Sudirman. Bendera Pusaka dan naskah asli Proklamasi Kemerdekaan disimpan di bekas kamar Soekarno. Sepuhan kuning keemasan yang mendekorasi mebel dan interior, menyilaukan indra penglihatan kami, yang tak terbiasa melihat nuansa kemegahan dan keanggunan setegas itu sehari-hari.
Sejatinya, Istana Merdeka menyimpan memoar kemenangan perjuangan bangsa, sebagaimana kami ketahui dari literatur, koleksi buku-buku berbahasa Belanda tentang bangunan peninggalan Hindia Belanda—kebetulan kami sama-sama mempelajari budaya dan bahasa Belanda semasa kuliah dulu. Sayang, sang pemandu tur istana luput mengisahkan memoar heroik ketika Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan RI, empat tahun pasca Proklamasi Kemerdekaan RI, pada 17 Agustus 1945. Padahal memoar heroik itulah yang membawa perubahan besar pada penamaan istana yang melambangkan kemerdekaan dan pengakuan kedaulatan RI.
Tepatnya, pada 27 Desember 1949, menjelang Matahari tenggelam di garis cakrawala. Seiring pengibaran bendera Merah-Putih ke puncak tiang, terdengar kumandang lagu kebangsaan Indonesia Raya dan pekik, ”Merdeka! Merdeka! Hidup Indonesia!” memenuhi halaman istana yang kala itu bernama Istana Gambir. Sementara ribuan mil dari Jakarta, tepatnya di Istana Dam, Amsterdam, Belanda, lagu kebangsaan Wilhelmus berkumandang mengiringi bendera Merah-Putih-Biru yang merayap turun dari puncak tiang, seusai Ratu Juliana menandatangani naskah pengakuan kedaulatan dan menyerahkannya kepada Perdana Menteri RI Mohammad Hatta, yang dalam perundingan tersebut bertindak sebagai pimpinan Delegasi RI. Lagu kebangsaan Indonesia Raya pun berkumandang untuk pertama kalinya di Istana Dam. Senja kemenangan yang menandai berakhirnya era kolonialisme di Indonesia dan berawalnya pemerintahan bangsa sendiri. Istana Gambir pun berganti nama menjadi Istana Merdeka.
Sejak itu, Hari Kemerdekaan RI senantiasa diperingati setiap 17 Agustus, setiap tahun, dengan digelarnya Upacara Pengibaran dan Penurunan Bendera Merah-Putih di halaman depan Istana Merdeka yang berdiri gagah menghadap Monumen Nasional (Monas). Seremoni semegah dan seanggun istana yang melambangkan memoar kemerdekaan dan pengakuan kedaulatan RI yang tak lekang oleh waktu, tetapi tak sempat dikisahkan oleh sang pemandu tur istana.
Penulis | : | |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR