Inilah catatan tentang Bangka dari sudut pandang dua orang: sang penulis Seno Gumira Ajidarma dan arsitek Yuke Ardhiati.
SENO: Tahun lalu, saya datang ke Bangka dari Palembang. Naik kapal, berangkat pukul 16:00 dan tiba pukul 06.00 esoknya. Saya ingat, pagi itu, sopir mobil yang saya sewa mengajak sarapan di rumahnya. Saya ingat cuma bilang, “Tempat Bung Karno ditahan,” dan sopir itu ternyata ke sana pun belum pernah! “Wah, saya untung ketemu Bapak,” katanya, “mobil disewa dan bisa melihat tempat bersejarah itu.”
Mobil merayap naik gunung yang sebenarnya bukit saja, Menumbing, melalui hutan sejuk. Tempat bersejarah macam apa? Tak hanya Presiden RI Soekarno yang ditahan di sini sebagai “pemimpin pemberontak” di ibukota RI saat itu, Yogyakarta, yang diserbu 19 Desember 1948.
Awalnya Soekarno, Sjahrir, Agus Salim dibawa ke Prapat, tepi Danau Toba, 22 Desember. Tapi pada 5 Februari diangkut Catalina tanpa Sjahrir ke puncak Menumbing, 150 km dari kota tambang timah Muntok, tempat Hatta sudah ditahan bersama Assaat, A G Pringgodigdo, Surjadarma dan Ali Sastroamidjojo. Natsir menyusul diasingkan di sana.
Menurut Bung Karno, mereka dipindah karena hampir tiap malam ada usaha pembebasan oleh pemuda. Penggabungan di Bangka agar pemimpin RI bisa lebih efektif berunding.
Dalam kenangan Hatta, tempat mereka ditahan mirip kerangkeng. Setelah Komisi Tiga Negara (KTN) berkunjung, 2 Januari 1949, dan protes, kawat berduri dibuka. Pemimpin RI bisa jalan-jalan ke seputar Bangka. Meski diduduki Belanda, rakyat Bangka, “Sudah jadi rakyat RI.”
Ke mana pun pergi, mereka disambut hormat. Pedagang di pasar tak bersedia dibayar. Berdiri di bangunan gaya vila, kini jadi hotel (Jati Menumbing) yang kurang laku itu, saya bayangkan bukan hanya datang dan perginya berbagai de-legasi, beradu diplomasi berebut negeri ini.
Namun juga bagaimana Hatta marah besar kepada Soekarno, karena pada 29 April mengirim telegram ucapan selamat ulangtahun kepada Ratu Juliana.
Setidaknya lima bulan pemimpin RI dibatasi geraknya karena pemerintah resmi RI baru kembali ke Yogyakarta pada 6 Juli. Memasuki kamar tidur Soekarno, tempat tidur dan bantal guling terpajang, menghirup udara yang sama seperti dihirup Soekarno, memberi suatu kesan luar biasa, bagai seruangan bersamanya.
Dengan bangunan dan suasana yang diandaikan sama seperti dulu, lengkap dengan mobil yang digunakan saat itu, siapapun akan merasa berada di dalam sejarah, hanya dipisahkan waktu. Para pemimpin berjalan-jalan di sekitar vila, menghayati, menikmati kesejukan, ssembari berdiskusi mempertahankan kemerdekaan RI. Tentu ironis bagi Belanda berhadapan dengan para intelektual yang berpendidikan, berbahasa Belanda, menggunakan wacana pembebasan dan kesetaraan Eropa juga untuk menghadapi kolonialisme Belanda itu.
YUKE: Sebagai arsitek, saya menjelajahi alam pikiran Bung Karno terkait karya tugu pasca Pembuangan di Bangka, yang secara bermakna menanam tugu per-ingatan di kota besar di Indonesia dalam gubahan obelisk – piramid jangkung yang lazim ditempatkan di tengah kota berbentuk lingkaran sempurna.
Menyerupai seseorang sangat charming yang menuju tempat rekreasi, bukan ke pengasingan. Bung Karno dengan hangat bermental untuk sebuah kemenangan menjalani lakonnya dengan anggun. Film dokumenter perang fisik Clash II 1948 di Yogya berlatar Istana Yogyakarta menunjukkan hiruk pikuk. Soekarno berwajah kemudaan di usia 47 berbalutan pantalon biru donker perlente, berkemas menuju ke pembuangan Bangka. Tak terpancar kegundahan ketika harus melakoni pembuangan lagi. Bahkan ketika telah menjadi presiden bagi sebuah negeri muda yang ia proklamasikan tiga tahun sebelumnya.
Sekembali dari Bangka, Bung Karno mendarat di Maguwo, Yogya, 1949 dengan setelan pantalon berkantong lebar putih-putih berbendera merah putih di dada. Cahaya kemenangan inilah yang terpancar. Kembali ke Yogyakarta!
Penulis | : | |
Editor | : | Yoga Hastyadi Widiartanto |
KOMENTAR