“Semua penghuni adalah anggota aktip perkumpulan pemuda,” ungkap Raden Soeharto yang mencoba menggambarkan suasana sehari-hari Indonesische Club (IC). Kemudian dia melanjutkan, “...dan meja makan pagi adalah tempat kita kumpul secara lengkap sambil makan pagi membicarakan berbagai hal yang aktuil.”
Setiap pagi, Soeharto dan teman-teman yang berasal dari penjuru Nusantara selalu berbincang di meja makan Indonesische Club—kini, kita mengenangnya sebagai Museum Sumpah Pemuda. Tampaknya, perjuangan pemuda Indonesia berawal dari semangat bersantap di meja makan itu.
Kendati menu bersantap disediakan, Indonesische Club bukanlah indekos papan atas. Soeharto berkisah, ada pedagang makanan yang senantiasa nongkrong di pekarangan pondokan dan sekitarnya. Saat sarapan, pedagang khas Betawi menjajakan ketan, ikan kembung goreng dengan sambal dan lalapan taoge. Saat makan siang, penjual menjajakan nasi dan gado-gado. Sementara, pedagang nasi dan bakmi kuah kol tomat tersedia saat makan malam tiba.
Namun, suasana pagi Jalan Kramat No.106 pada 28 Oktober 1928 sungguh berbeda, kenang Soeharto. “Mungkin karena kesibukan kongres, mungkin juga hidangannya tidak menarik,” ungkapnya. “Maklum, kwalitas makanan di IC menurun dengan meningkatnya tanggal.”
Tampaknya, nasib anak indekos tempo dulu, tak jauh berbeda dengan nasib anak indekos zaman kini. Bagi mereka, setiap akhir bulan adalah masa-masa kritis yang berulang tak berkesudahan.
Tampaknya, nasib anak indekos tempo dulu, tak jauh berbeda dengan nasib anak indekos zaman kini. Bagi mereka, setiap akhir bulan adalah masa-masa kritis yang berulang tak berkesudahan.
“Saya masih ingat,” ungkapnya, “bahwa untuk sewa kamar inklusip makanan tiga kali sehari, membayar per bulannya Fl 12,50 atau harganya [setara] 40 liter beras waktu itu.”
Saat itu Raden Soeharto, yang kelahiran Surakarta, merupakan mahasiswa tahun pertama Facultas Medica Bataviensis, Bataviase Geneeskundige Hoogeschool (GHS)—kelak cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Soeharto merupakan anak keempat dari tujuh bersaudara. Ayahnya bernama Raden Sastrosoejoso dan ibunya, Hermina. Kediaman keluarga ini berada di seberang jalan Pesanggrahan Tegalgondo di Surakarta, Jawa Tengah. Kabarnya, pesanggrahan itu tempat tetirah Pakubuwana X.
Dia mujur bisa sekolah di Batavia berkat beasiswa dari Pemerintah Belanda dan Tjandi-Stichting. Mahasiswa yang belum genap usia 20 tahun itu juga sudah menjabat sebagai salah satu Pengurus Besar Jong Java. Maklumlah, semenjak Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (setingkat SMP) di Madiun, dia aktif sebagai anggota Jong Java dan Jong Islamieten Bond.
Soeharto mengungkapkan salah satu kenangannya selama menjadi anak indekos jelang Kongres Pemuda II yang digelar di Indonesische Club. Kakaknya, yang bernama Raden Soekamso, turut hadir dalam perhelatan akbar para pemuda itu. Sang kakak yang mahasiswa Technische Hoogeschool di Bandung bermalam beberapa hari di kamarnya.
Sebuah kenangan lain turut membangkitkan rasa emosionalnya. Ketika itu hari Sabtu, 20 Oktober 1928, menjelang magrib. Sekonyong-konyong, seseorang lelaki berperawakan kurus memasuki pemondokan itu, demikian kisahnya. “Busananya sangat sederhana, mengempit biola yang sudah agak butut.”
“Busananya sangat sederhana, mengempit biola yang sudah agak butut.”
Lelaki kurus itu berjalan menuju beranda belakang. Dia “dengan semangat memperdengarkan lagu yang sama berulang-ulang kali,” kenang Soeharto. “...dan kadang-kadang juga menyanyi dengan suara yang agak parau.”
Belakangan, Soeharto mengenalnya sebagai Wage Rudolf Soepratman. Dan, lagu yang berulang kali dimainkannya dengan biola butut itu bertajuk “Indonesia Raya”.
Penulis | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
Editor | : | Silvita Agmasari |
KOMENTAR