Rumah itu terlihat rapi, bersih juga gagah. Halamannya luas, terdapat pohon mangga besar di sana. Malam dipadu cahaya lampu sorot dan orang-orang terlihat ngobrol ditemani kopi di teras rumah, membuat rumah ini seperti hidup ingin mengajak orang untuk berbincang dengannya. Pemilik dari rumah yang terletak di Gang IV Karangturi itu adalah A. Soesantio (75th). Pria peranakan Tionghoa kelahiran Lasem ini menyulap rumah yang dibangun sekitar tahun 1850-an itu sebagai museum yang diberi nama “Nyah Lasem”.
Museum Nyah Lasem memiliki koleksi benda-benda bersejarah yang cukup beragam. Mulai dari kain batik tulis lasem, foto-foto kuno, buku-buku kuno, surat-surat kuno, label produk indutri kreatif tempo dulu, karcis bus tempo dulu, sampai perkakas rumah tangga seperti tampah, teko, mesin jahit, rantang dan masih banyak lagi yang menghiasi setiap sudut rumah warisan leluhur A. Soesantio tersebut.
Museum Nyah Lasem sendiri termasuk museum keluarga, karena benda-benda koleksinya merupakan milik keluarga besar A. Soesantio sejak dahulu. Koleksinya banyak terlihat rapi, bersih dan diberikan keterangan bagi setiap koleksi yang ditampilkan. Meskipun termasuk museum keluarga saat ini, Sosantyo tidak membatasi bagi siapapun yang ingin menyumbang koleksi baru untuk Museum Nyah Lasem.
Rabu malam (12/10/2016), beberapa komunitas yang bergerak di bidang pelestarian pusaka menyelenggarakan Peringatan Hari Museum Nasional di Museum Nyah Lasem. Komunitas-komunitas tersebut terdiri dari Lasem Creative Heritage Society, Pokdarwis Karangturi, Paguyuban Pelestari Pusaka Bhre Lasem, Dasun Heritage Society, Vista Photograpy, dan Komunitas Rumah Baca Pamotan.
Bentuk acara Peringatan Hari Museum Nasional 2016 di Nyah Lasem yang dihadiri 30-an orang tersebut meliputi penjelasan koleksi Museum Nyah Lasem oleh A. Soesantio, dan diskusi tentang museum hari ini dan masa depan di Lasem. Kemudian, Peringatan Hari Museum Nasional tersebut diselenggarakan dengan maksud ingin menggerakan kecintaan terhadap museum dan benda-benda pusaka yang ada di Lasem.
“Museum jangan selalu dibayangkan ada gedungnya yang besar, ada parkirannya yang luas serta masuk dalam buku destinasi wisata. Tempat menjadi museum itu sebenarnya sederhana, jika Anda punya koleksi ketapel misalnya dari berbagai tempat di Jawa Tengah saja taruh itu semua di kamar anda dengan display yang rapi disertai keterangan itu sudah termasuk museum. Jadi memahami museum itu jangan terlalu sempit. Saya juga berharap selain Museum Nyah Lasem juga harus muncul museum-museum lainnya di sudut-sudut Lasem,” tegas A. Soesantio mengawali diskusi malam itu.
Dalam acara tersebut, hadir juga Kepala Desa Dasun Sujarwo sekaligus anggota dan pembina dari komunitas Bhre Lasem dan Dasun Heritage Society. Sujarwo menuturkan Desa Dasun akan membuat sebuah museum bahari. “Rencana pendirian museum bahari sudah ada, kebetulan sudah kami masukan di program. Paling tidak dengan pendirian musem bahari ini kami bisa ikut melestarikan sejarah, budaya dan alam yang ada di Dasun. Hal itu sangat penting untuk anak-cucu kami ke depan,” tutur Sujarwo.
Kemudian, Mathoya dari Paguyuban Pelestari Pusaka Bhre Lasem menuturkan bahwa Lasem merupakan sebuah museum lapangan. “Pada awal masa pemerintahan Bupati Moch. Salim kami dari pegiat pelestari pusaka sudah berbicara tentang pendirian museum di Lasem. Dan kita bahas saat itu sepertinya Lasem sudah menjadi museum lapangan dengan masa periodisasi yang beragam. Karena semua peninggalan dari berbagai periodisasi sejarah terdapat di Lasem. Itu bisa kita katakan bahwa setiap jengkal tanah yang ada di Lasem mengandung nilai-nilai sejarah,” papar Mathoya.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR