Bahkan, hingga saat ini, tidak sedikit pabrik di Belanda yang masih menggunakan pala sebagai bahan dasar produknya, seperti parfum dan obat-obatan. Hal ini kontras sekali dengan masyarakat kita yang kini cenderung menggunakan produk impor daripada hasil bumi Indonesia.
Masih banyak koleksi lain yang tersaji di ekshibisi ini, seperti kartografi jalur pelayaran Belanda ke Indonesia, peta kepulauan Maluku dan Banda kala itu, informasi cara mengolah pala, dan lain-lain.
Namun, ada sebuah mahakarya yang cukup menciptakan ironi masa kini antara pulau Run dan Manhattan. Lukisan bertajuk Nieuw Amsterdam ofte Nue New Iorx opt’ t.Eylant Man karya Johannes Vingboons tersebut mencenungkan Michael sejenak. Beberapa kapal yang sedang berlayar di lautan luas, dengan daratan yang dihiasi oleh sedikit bangunan, menghiasi lukisan tersebut.
“Lihatlah, ini Manhattan tempo dulu. Yang dulunya tidak memiliki gedung satu pun, sekarang menjadi salah satu pusat ekonomi dunia. Tapi pulau Run? Lihatlah, seperti apa kini nasibnya. Ironis. Sumber penghidupan Eropa itu kini telah luput dari pembangunan,” ungkap Michael.
Ekshibisi ini dipimpin oleh Yayasan Warisan dan Budaya, Sadiah Boonstra, dan Wim Manuhutu, yang keduanya sekaligus merupakan kurator pameran. Pameran ini hanyalah ‘penyambut’ dari ekshibisi agung yang nantinya akan digelar di Galeri Nasional Indonesia (GNI), Jakarta, September mendatang.
Penulis | : | |
Editor | : | Ema Indah Ruhana |
KOMENTAR