Suasana hening menyelimuti Ruang Pameran Erasmus Huis, Kedutaan Besar Kerajaan Belanda. Beberapa perempuan sedang menelaah dengan saksama informasi yang tersaji dalam pameran. Ya, sebuah ekshibisi sedang digelar di Ruang Pameran tersebut. Bertajuk “Banda, Heritage for Indonesia”, pameran ini disuguhkan mulai Senin, 31 Juli 2017 hingga sebulan mendatang.
Ternyata, pemilihan tanggal 31 Juli sebagai pembuka pameran bukanlah tanpa alasan. “Pada 31 Juli lalu, tepat 350 tahun sejak Perjanjian Breda ditetapkan,” ucap Michael Michael, Direktur Erasmus Huis, ketika menemani saya menyusuri ragam potret yang bertengger di dinding ruangan.
Michael menuturkan, Perjanjian Breda adalah sebuah perundingan antara beberapa perusahaan negara untuk memecahkan berbagai permasalahan pelik yang sedang menggempur dunia. Belanda, Inggris, Denmark, Perancis, dan Portugal terlibat dalam perundingan ini. Perdagangan, pertukaran pulau-pulau yang dijajah, menjadi esensi perjanjian ini.
Belanda dan Inggris menjadi “pemeran utama” dalam Perjanjian Breda. Pasalnya, salah satu isi perjanjian ini adalah pertukaran kepemilikan daerah jajahan antara kedua belah pihak. Belanda dan Inggris setuju untuk menerima status quo daerah-daerah jajahan di benua Amerika, Afrika, dan Asia. Nieuw Amsterdam (kini Manhattan, New York) yang dimiliki Belanda kala itu, dipertukarkan dengan Suriname dan pulau Run—salah satu kecil di Kepulauan Banda—yang dimiliki Inggris, yang menandai pertukaran pemerintahan diantara kedua daerah jajahan.
Selain menguak hubungan antara pulau Run dan kota New York, pameran ini menggambarkan betapa pentingnya kepulauan Banda kala itu, sebagai salah satu sumber pala dan fuli—hasil dari pohon pala, Myristica fragrans.
“Kami ingin menunjukkan betapa pentingnya Banda bagi beberapa negara Eropa. Banda menghasilkan rempah-rempah, seperti pala dan fuli, yang menjadi sumber kehidupan bagi perdagangan negara. Emas pun tak mampu menandingi betapa bernilainya rempah-rempah ini,” jelas Michael, sembari memandang lukisan pulau Neira—salah satu pulau di kepulauan Banda—yang terpampang dengan tatapan berbinar. Takzim akan mahakarya Johannes Vingboons, pelukis sohor Belanda di eranya.
Histori lain di balik Banda turut terkuak ketika kami berhenti di depan papan informasi yang menyuguhkan sosok Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal VOC yang “fenomenal”. Pada tahun 1621, Pieterszoon Coen memutuskan untuk mengakhiri perlawanan rakyat Banda yang selama ini dianggap “mempersulit” monopoli perdagangan oleh Belanda di kepulauan tersebut.
Pertumpahan darah pun terjadi. Warga yang melawan dibunuh, ditangkap, dan dibawa ke Batavia sebagai budak. Kampung-kampung pun dibumihanguskan. Ribuan orang Banda menjadi korban, ratusan diantaranya berhasil mengungsi ke Seram Timur dan kepulauan Kei.
“Pieterszoon Coen sangat agresif dalam memperlakukan penduduk Banda. Namun, tidak ada satu pun orang di Belanda yang tahu perbuatannya itu. Yang mereka tahu hanya Coen berhasil memonopoli. Semua hanya berorientasi pada uang. Mereka tidak tahu cerita suram dibalik semua itu,” ujar Michael seraya menggelengkan kepala, menekuri riwayat kelam Banda.
Jejak sejarah pun bergulir ke sebuah potret dua orang lelaki yang sedang berdiri. Salah seorang dari mereka berpakaian putih dan membawa gait-gait—alat pemetik dan pemanen jala yang terbuat dari bambu panjang. Seseorang lain berdiri di sisinya sembari menggendong bakul pala. Sebuah pengikat memahkotai kepala mereka.
“Mereka adalah pekerja perkebunan pala. Semenjak Pieterszoon Coen berhasil menakhlukkan Banda, ribuan orang dari Indonesia maupun luar Indonesia dijadikan pekerja perkebunan. Hidup mereka yang dulunya tenteram, telah berubah drastis semenjak Belanda berkuasa,” kata Michael.
Hal menarik yang menyentil pandangan saya adalah meja kaca berisi benda bulat dan panjang yang disuguhkan di pusat ruangan. Tak menunggu lama, saya ‘tergiring’ naluri untuk menyambanginya.
“Itu adalah pala dan gait-gait,” tukas Michael, menyusul langkah saya. Pala utuh, bunga pala, dan kenari tersaji di depan mata. Gait-gait dan bakul pala menemani ketiganya di sisi. “Mereka sangat bernilai tinggi dan berguna dalam hal apapun. Bisa sebagai makanan, pengawet makanan, perasa, antibakteri, dan parfum,” Michael menambahkan.
Bahkan, hingga saat ini, tidak sedikit pabrik di Belanda yang masih menggunakan pala sebagai bahan dasar produknya, seperti parfum dan obat-obatan. Hal ini kontras sekali dengan masyarakat kita yang kini cenderung menggunakan produk impor daripada hasil bumi Indonesia.
Masih banyak koleksi lain yang tersaji di ekshibisi ini, seperti kartografi jalur pelayaran Belanda ke Indonesia, peta kepulauan Maluku dan Banda kala itu, informasi cara mengolah pala, dan lain-lain.
Namun, ada sebuah mahakarya yang cukup menciptakan ironi masa kini antara pulau Run dan Manhattan. Lukisan bertajuk Nieuw Amsterdam ofte Nue New Iorx opt’ t.Eylant Man karya Johannes Vingboons tersebut mencenungkan Michael sejenak. Beberapa kapal yang sedang berlayar di lautan luas, dengan daratan yang dihiasi oleh sedikit bangunan, menghiasi lukisan tersebut.
“Lihatlah, ini Manhattan tempo dulu. Yang dulunya tidak memiliki gedung satu pun, sekarang menjadi salah satu pusat ekonomi dunia. Tapi pulau Run? Lihatlah, seperti apa kini nasibnya. Ironis. Sumber penghidupan Eropa itu kini telah luput dari pembangunan,” ungkap Michael.
Ekshibisi ini dipimpin oleh Yayasan Warisan dan Budaya, Sadiah Boonstra, dan Wim Manuhutu, yang keduanya sekaligus merupakan kurator pameran. Pameran ini hanyalah ‘penyambut’ dari ekshibisi agung yang nantinya akan digelar di Galeri Nasional Indonesia (GNI), Jakarta, September mendatang.
Penulis | : | |
Editor | : | Ema Indah Ruhana |
KOMENTAR