Legenda mengatakan bahwa ibukota Lebanon, Beirut, dibangun kembali sebanyak tujuh kali dari abu, menjadikannya sebagai mukjizat perkotaan dalam mitologi. Dengan masa lalu yang kacau, kota ini telah identik dengan konflik, seperti halnya identik dengan hummus, pasta kental Timur Tengah; dan tabbouleh, salad Arab dari campuran remah gandum dan bahan cincang halus.
Namun, ketika Anthony Bourdain pertama kali mengunjungi Beirut pada tahun 2006, saat itulah ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Bourdain menemukan sebuah kota yang menantang harapan dan logika, yang nyaris sempurna dalam penampilannya.
Beirut telah mengalami kebangkitan dalam beberapa tahun terakhir. Para pengunjung seakan tersihir oleh keajaiban magis yang ditawarkan. Bagaikan menyusuri Eropa, negara di Timur Tengah ini memiliki jalanan yang memusingkan dengan nama-nama Perancis, yang mengarah ke klub yang dulunya adalah bunker bawah tanah, diselingi dengan hidangan menarik seperti shawarma atau man’oushe dengan za’atar terbaik di kota.
Tidak hanya kota Beirut, seluruh sudut negara seolah memiliki aura magnetis yang menarik hati Bourdain, menjadikannya sebagai tempat yang menarik untuk dijelajahi.
Dengan sejarah hampir 5.000 tahun, Lebanon adalah salah satu negara tertua di dunia. Di balik peristiwa akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 yang penuh dengan kekerasan, ada sebuah negara yang penuh dengan cerita dan berpotensi menjadi alternatif terbaik untuk melakukan perjalanan yang menyenangkan.
Naik ATV di antara pohon cedar—sumber kebanggan dan simbol identitas yang terpampang pada bendera nasional Lebanon—di sekitar pegunungan berhiaskan warna emas sinar matahari Timur Tengah merupakan agenda yang wajib dilakukan di sana. Selain itu, menyusuri bawah tanah untuk menikmati stalaktit raksasa yang membentuk Gua Jeita, menyantap mezze yang tak tertahankan, dan menikmati hidangan segar di restoran tepi pantai juga patut untuk dicoba.
Pergilah ke kota untuk menikmati kesenangan hedonis di wilayah yang paling membahagiakan—tempat yang hidup dengan tekad, kebanggaan, dan semangat yang disebut penduduk sekitar sebagai “rumah”.
Penulis | : | |
Editor | : | Ema Indah Ruhana |
KOMENTAR