Bila kita berkunjung ke Bumi Cendrawasih, salah satu kerajinan khas yang bisa kita bawa sebagai buah tangan adalah noken. Tas buatan tangan khas Papua berbahan dasar materi tumbuhan. Walaupun sama-sama terbuat dari bahan dasar yang sama, namun ternyata noken memiliki beragam jenis.
Dua noken yang paling terkenal adalah noken Wamena dan noken Raja Ampat. Noken Wamena sendiri sudah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia tak benda pada tahun 2012.
"Noken di Papua ada lebih dari satu jenis. Noken di Wamena yang terbuat dari akar akan berbeda dengan Noken di Raja Ampat. Karena warisan leluhurnya pun berbeda," ujar Yening, ketua Komunitas Mama Noken Raja Ampat, dikutip dari KompasTravel, Selasa (17/10/2017).
Bahan
Yening, lebih lanjut menjelaskan bahwa noken Raja Ampat terbuat dari daun pandan pesisi atau yang biasa disebut daun tikar, ilalang rawa, dan bisa juga dari kulit kayu. Hal inilah yang secara mendasar membedakan noken Raja Ampat dengan noken Wamena yang menggunakan akar anggrek.
(Baca juga: Dianggap Punah, Anjing Liat Dataran Tinggi Papua Kembali Ditemukan)
Budaya
Perbedaan bahan tersebut menunjukkan keduanya lahir dari budaya masyarakat yang berbeda. Di Raja Ampat, bahan noken berasal dari tumbuhan pesisir, yang memang lahir dari budaya pesisir. Sedangkan di Wamena, noken ada di tengah budaya masyarakat hutan gunung, yang banyak dipakai mengangkut hasil hutan.
Bentuk
Bahan yang berbeda membuat bentuk keduanya berbeda. Noken raja ampat berbentuk kotak, teksturnya kaku, dengan variasi warna alam dan beragam variasi bentuk tutup nokennya. Sedangkan di Wamena, noken bentuknya seperti kantung, dengan tekstur bahan yang jatuh seperti kain.
(Baca juga: Festival Danau Sentani Kembali Digelar)
Cara pakai
"Lihat cara pakainya juga beda, kalau noken wamena, budayanya dipakai di kepala lalu kantung jatuh di punggung. Sedangkan noken raja ampat, digantung di pundak, ataupun leher," kata Yuning, saat menjelaskan dalam stan pameran Festival Bahari Raja Ampat, Selasa (17/10/2017).
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR