Juli lalu saat memberikan kuliah umum di Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta, Presiden Joko Widodo menyebut-nyebut tentang Generasi Z. Para remaja ini, kata Presiden, akan mengubah lanskap politik dan lanskap ekonomi dalam waktu 5-10 tahun ke depan.
“(Mereka) pegangannya hanya smartphone, bisa tahu semuanya,” kata Presiden Jokowi.
Generasi Z adalah kelompok umur yang muncul setelah Baby Boomers (lahir 1946-1964), Generasi X (lahir 1965-1976), dan Generasi Y (lahir 1977-1995).
Di Indonesia, Generasi Z adalah mereka yang lahir pada pertengahan 1990-an (mengacu pada penggunaan perdana internet komersial) hingga pertengahan 2000-an.
Generasi Z kita pada 2010 mencapai lebih dari 68 juta orang, hampir dua kali lipat Generasi X. Kelompok usia paling tua dari Generasi Z berusia 21 tahun, artinya mereka sudah pernah memilih presiden dan wakil presiden serta mengikuti pemilu legislatif.
Pada pemilihan presiden 2019 kelak, semakin banyak remaja dari Generasi Z yang akan mencoblos, baik perdana maupun untuk kesekian kalinya.
Bagaimana Generasi Z akan membawa perubahan pada lanskap politik Indonesia?
Baca juga: Jumlah Obesitas Pada Anak-Anak dan Remaja Meningkat 10 Kali Lipat
Ciri utama Generasi Z adalah masuk dalam kategori pribumi digital (digital native). Hal ini menjadikan posisi mereka sangat menarik dibandingkan dengan generasi pendahulu. Mereka bukanlah imigran digital yang harus bertransisi dari dunia analog.
Begitu melek, dalam genggaman Generasi Z sudah ada internet. Mereka tidak terkagum-kagum akan kemudahan dan kepraktisan internet. Bagi mereka, internet adalah normalitas. Internet adalah bagian dari kehidupan sehari-hari yang tidak usah membuat gumun.
Mungkinkah ini artinya, Generasi Z bisa lebih tahan terhadap sebaran isu hoaks yang akhir-akhir ini sudah begitu mengkhawatirkan sekaligus menjijikkan?
Literasi media digital bolak-balik mental karena pengguna ponsel canggih (smartphone) enteng saja meneruskan berbagai kabar lewat sarana berkirim pesan seperti WhatsApp. Menurut riset Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) tentang wabah hoaks nasional, sebanyak 68,2% menerima hoaks lewat aplikasi chatting.
Bagi penyebar hoaks, aplikasi chatting memang sangat nyaman karena praktis, tidak perlu narasi yang rumit, dan terjamin penyebarannya. Bukankah refleks pertama orang ketika menerima informasi adalah buru-buru menyebarkannya “ke grup sebelah”? Alasannya bisa macam-macam; karena ingin jadi yang pertama mengirim kabar ke komunitasnya, atau justru dalam rangka mengecek kebenaran kabar tersebut. Bagi mereka yang lama hidup di dunia analog, kemudahan menyebarkan kabar ini memang terasa bagai sesuatu yang baru dan canggih.
Baca juga: Mengapa Berita Hoax Mudah Menyebar?
Masa Depan Pengolahan Sampah Elektronik Ada di Tangan Negara-negara Terbelakang?
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR