Barangkali justru di sinilah letak keunikan Generasi Z. Mereka tidak menempatkan kecepatan sebagai faktor penting dalam mencari berita karena kecepatan bukanlah suatu keuntungan, melainkan kewajaran.
Sumber informasi mereka bukan kabar dari WhatsApp, melainkan aplikasi kuratorial berita seperti LINE Today. Menyebarkannya pun bukan lewat grup atau chat pribadi, tapi dibagikan lewat timeline masing-masing. Tantangan berikutnya adalah mengarahkan Generasi Z untuk memperhatikan isu-isu publik yang penting. Model aplikasi kuratorial berita seperti disebut di atas, bisa menjadi inspirasi.
Generasi Z juga cenderung lebih individualis dibandingkan generasi pendahulunya. Maksudnya, mereka lebih tertarik dan lebih percaya pada upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh individu, daripada berserikat dan berkumpul.
Generasi Z lebih percaya pada influencer di Instagram (biasa disebut “selebgram”) yang pengikutnya sedikit karena dianggap lebih unik dan otentik. Hal ini disebabkan karena Generasi Z lahir di era keberlimpahan informasi. Seolah-olah semua yang mungkin diciptakan, telah diciptakan. Itulah mengapa mereka mencari keunikan alias sesuatu yang khas.
Mungkinkah hal tersebut berlaku pula dalam politik? Konsekuensinya, Generasi Z tidak akan terpesona pada partai berpengikut banyak atau tokoh politik yang umatnya bejibun. Generasi Z akan lebih tertarik pada keunikan yang ditawarkan oleh partai atau tokoh politik dalam kampanyenya.
Menurut riset Tirto yang dilakukan pada 1.201 responden Generasi Z di Jawa dan Bali tahun 2017, Generasi Z cenderung berpikiran terbuka, asyik dengan teknologi, dan menghendaki perubahan sosial. Narasi kampanye bisa berpijak pada ketiga temuan tersebut.
Pertama, partai atau tokoh politik bisa menggunakan narasi yang kuat, unik, serta mengandung berbagai topik yang perlu selalu didengungkan seperti kesetaraan gender, kebebasan berekspresi, penghargaan terhadap perbedaan, dan perlindungan hak asasi.
Baca juga: Uang, motivasi di balik berita bohong tentang vaksin dan autisme
Kedua, kanal kampanye haruslah melibatkan teknologi canggih. Ketiga, jangan lagi bicara hal-hal klise atau abstrak. Generasi Z yang pragmatis ini ingin melihat perubahan sosial, bukan sekadar jargon. Tokoh yang di-endorse dalam kampanye politik juga perlu diperhatikan. Mereka harus mewakili keinginan Generasi Z yang haus akan keunikan dan ciri khas. Semakin “beda”, semakin baik.
Tentu saja, terlalu gegabah bila “lanskap politik” diterjemahkan sekadar sebagai pilihan saat coblosan. Generasi Z bukan sekadar pasar. Perlu dilakukan berbagai studi dan kajian yang mampu melihat secara mendalam preferensi politik mereka, lengkap dengan berbagai faktor seperti pengalaman sejarah dan konsumsi budaya populer.
Andina Dwifatma, Lecturer at the School of Communication, Atma Jaya Catholic University of Indonesia
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR