Dalam pengobatan tradisional, seperti kerokan, logika pengobatan diyakini bersama antara penderita dan pemberi layanan karena mereka memiliki sudut pandang dan dasar nilai budaya yang sama.
Pengobatan tradisional Indonesia dipengaruhi oleh filosofi Cina sejak abad kelima. Pengobatan Cina meyakini bahwa keseimbangan antara panas (yang) dan dingin (yin) mempengaruhi keharmonisan hubungan antara kondisi spiritual dan fisik dari tubuh dengan alam.
Seseorang akan sakit bila tubuh tidak dalam keadaan yang harmonis dan seimbang. Logika inilah yang diyakini masyarakat Indonesia dalam melakukan kerokan.
Kerokan diyakini sebagai praktik untuk mengeluarkan angin dingin penyebab penyakit dengan menggosok kulit di bagian yang terkena angin sampai bagian tersebut terasa panas. Tanda merah di kulit menjadi simbol hilangnya angin dari dalam tubuh.
Keluarnya keringat dan buang angin setelah kerokan juga diyakini menandakan hilangnya angin dingin dalam tubuh manusia.
Dalam sudut pandang ilmiah ini irasional dan tidak masuk akal karena tidak mungkin angin bisa keluar masuk tubuh manusia melalui cara tersebut. Tetapi masyarakat mempunyai logika tersendiri dalam menyembuhkan suatu penyakit.
Efek psikoterapis
Pengobatan tradisional yang memiliki dampak psikososial dan psikoterapis membuat orang menjadi kecanduan akan kerokan.
Kerokan memerlukan bantuan orang lain karena diaplikasikan di bagian belakang tubuh. Walaupun kerokan lebih mujarab bila dilakukan oleh tukang pijat yang berpengalaman, namun semua orang bisa melakukannya.
Seperti kebanyakan pengobatan tradisional lain, kerokan dipelajari secara turun temurun, biasanya oleh anggota keluarga perempuan, terutama ibu yang dianggap bertanggung jawab atas kesehatan keluarga.
Apalagi selama proses kerokan akan terjadi interaksi dan komunikasi yang memungkinkan penderita mengeluarkan uneg-uneg di luar keluhan akan penyakitnya, seperti persoalan keluarga, ekonomi, politik, gosip di tetangga, dan lain sebagainya.
Efek psikoterapis inilah yang membuat orang ketagihan melakukan kerokan lagi dan lagi.
Source | : | National Geographic Indonesia |
Penulis | : | Dok Grid |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR