Terdapat lebih dari 27 juta jiwa di wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta menjadikan Sungai Citarum sebagai salah satu sumber kehidupan masyarakat.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, Sungai Citarum mengairi lebih dari 400.000 hektar sawah. Air Sungai Citarum dibendung 3 kali di Cirata, Saguling, dan Jatiluhur dan menghasilkan 1.400 MW listrik.
Tak hanya itu, Sungai Citarum juga memasok air minum bagi penduduk kota Jakarta. "Memasok 80 persen air minum bagi penduduk Jakarta,” ujar Luhut, Rabu (22/11/2017).
(Baca juga: Ikhtiar Menyelamatkan Sungai Indonesia)
Namun ironisnya, sungai sepanjang 269 kilometer ini merupakan satu dari 10 sungai terkotor di dunia. Berdasarkan data, terdapat 1.500 ton sampah domestik dibuang ke sungai Citarum, belum ditambah limbah industri yang terbuang ke sungai ini.
Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah telah menggelontorkan anggaran yang besar. Namun hal itu belum menyelesaikan permasalahan sampah dan limbah di sungai tersebut.
Berdasarkan hasil kajian dan survei, sambung Luhut, permasalahan umum yang terjadi berkaitan dengan Sungai Citarum adalah penurunan kualitas air dan lingkungan di wilayah Sungai Citarum.
Hal tersebut akibat tidak terkontrolnya pembuangan limbah domestik, industri, pertanian, peternakan, dan perikanan budidaya.
Selain itu, banjir di musim hujan dan konflik air untuk irigasi persawahan di musim kemarau, serta penurunan muka air tanah akibat eksploitasi air tanah yang berlebihan menjadi masalah lainnya di Citarum.
Jika ada yang bertanya kenapa Menko Maritim ikut mengurus pengendalian sampah di Sungai Citarum, sambung Luhut, jawabannya adalah Indonesia berada dalam masalah darurat sampah.
Bahkan salah satu publikasi ilmiah menyebutkan Indonesia merupakan salah satu negara penghasil sampah plastik di laut terbesar ke-2 di dunia setelah China.
(Baca juga: Tercemar Berat, Mungkinkah Citarum Lestari?)
“Untuk diketahui, sumber sampah tersebut 80 persen berasal dari darat. Pemerintah telah berkomitmen untuk mengurangi sampah plastik di laut hingga 70 persen pada tahun 2025. Maka kita perlu melakukan sejumlah aksi untuk mencapai komitmen tersebut,” ungkapnya.
Penulis | : | |
Editor | : | Julie Erikania |
KOMENTAR