Di tengah-tengah kelompok kreatif dan pekerja lepas yang serabutan untuk bertahan, adalah mereka yang berada di ruang antara: mereka termasuk blogger yang punya semangat menulis tetapi harus berjuang demi nafkah yang layak; pekerja lepas online yang cukup senang punya pekerjaan setelah sebelumnya menganggur; mahasiswa dengan upah lumayan hasil dari bekerja beberapa jam seminggu sebagai desainer grafis.
Pekerja lepas terdiri dari orang-orang yang memiliki aneka latar belakang pendidikan, motivasi, ambisi, kebutuhan, juga berbagai tingkat kesediaan untuk bekerja. Maka sulit bagi para pengamat untuk menghindari stereotip ketika berusaha memotret keberagaman mereka secara akurat.
Bekerja lepas menjadi pilihan semakin banyak orang yang ingin menghindari jenis kerja kantoran dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore.
Banyak pekerja lepas, apapun pekerjaan mereka, mungkin awalnya memilih freelance karena pekerjaan ini menawarkan (atau seolah-olah menawarkan) kebebasan—kebebasan untuk bekerja sewaktu-waktu dan, dalam beberapa kasus, di mana saja. Hanya 37% pekerja lepas Amerika Serikat mengatakan mereka memilih freelance karena terpaksa. Di tahun 2014 angkanya lebih tinggi: 47%.
Tentu saja, ini bukan akhir dari pekerjaan bergaji bulanan. Kerja penuh dan pekerjaan kantoran masih menjadi jenis pekerjaan standar di kebanyakan negara Barat, juga di Rusia.
(Baca juga: Survei: 2 dari 3 Orang Tetap Bekerja Saat Berlibur)
Namun, sejalan dengan dimungkinkannya bekerja dari rumah, pesatnya otomatisasi, dan potensi alih daya yang tak terbatas, maka tidak mengherankan jika perusahaan-perusahaan akan beroperasi, bahkan tumbuh pesat, dengan jumlah pekerja yang jauh lebih sedikit.
Ini bukan berarti pengangguran bertambah. Mungkin saja yang terjadi adalah peningkatan jumlah pekerja lepas, yang akan senantiasa membentuk dan menyesuaikan diri dengan beraneka ragam proyek dan jaringan yang terus berubah.
Meningkatnya pekerja lepas mungkin menjadi indikator kunci masa depan yang sudah bisa terlihat saat ini, terutama berkait dengan praktik-praktik kolaborasi. Pekerja lepas sudah menjadi pendorong proyek-proyek yang dikelola secara kolaboratif. Tak lama lagi mereka akan berproduksi, berkomunikasi, dan berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan, klien, dan dengan masyarakat.
Mengingat bahwa para pekerja lepas bukan kelompok pekerja homogen, maka mengelola para manajer baru ini mungkin tidak akan mudah. Saat ini tidak ada satu pun sistem perlindungan sosial yang bisa melayani semua jenis pekerja lepas, mulai dari tukang bersih-bersih rumah, sopir taksi, arsitek, hingga redaktur berita.
Lantas bagaimana kelompok-kelompok individual ini bisa bekerja sama membela dan mengampanyekan kepentingan perburuhan mereka yang demikian beragam? Pastinya, saat ini, sudah ada seorang pekerja lepas ambisius di satu sudut belahan bumi ini yang sedang berusaha memecahkan masalah ini.
Anthony Hussenot, Professor in Organization Studies, Université Nice Sophia Antipolis
Sumber asli artikel ini dari The Conversation. Baca artikel sumber.
Source | : | National Geographic Indonesia |
Penulis | : | National Geographic Indonesia |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR