Nationalgeographic.co.id—Edith Wharton adalah wanita pertama yang memenangkan Hadiah Pulitzer pada tahun 1921 untuk novelnya berjudul The Age of Innocence. Ia penulis kenamaan dari tulisan-tulisan sosialnya yang tajam dan kritis.
Disamping kesohoran namanya, di balik analisis tajamnya kepada lingkungan sosialnya, ia merupakan penulis yang hebat dalam hal lain, utamanya saat ia menulis kisah-kisah hantu.
Uniknya, sejak kecil Wharton tak pernah menyukai cerita-cerita hantu karena sering dibuat ketakutan. Ia juga mengaku membakar buku-buku tentang kisah mistis karena takut dan tak menginginkan buku itu ada di rumahnya.
"Seiring berjalannya waktu, perlahan ia mulai membaca cerita hantu, dan mulai menulis cerita-cerita hantu," tulis Lyndsie Manuso kepada Book Riot dalam artikelnya berjudul Edith Wharton: Horror Writer, dipublikasi 3 Januari 2022.
Beberapa cerita hantunya yang paling terkenal termasuk adalah 'The Lady Maid's Bell' dan 'Delima Seed' yang populer sekitar tahun 1931.
Edith Wharton memiliki bakat untuk membangkitkan ketidaknyamanan pembacanya, sehingga membuat para pembacanya cemas hingga marah. "Ia mampu menciptakan suasana ngeri dalam tulisannya," imbuh Manuso.
Wharton mengambil banyak rumah dalam latar ceritanya (dengan nama-nama indah yang bisa saya tambahkan: Kerfol, Lyng, Bells, dll.) dan menjadikannya tempat yang suram dan dingin.
Wharton dianggap brilian karena ia secara inheren memercayai hal-hal yang tidak diketahui oleh pembacanya. Seringkali membuat alur cerita yang tak terduga dan malah menambah kengerian bagi pembacanya.
Melalui sudut-sudut gelap dalam ruangan dan aula sepi dalam latar kisahnya, ia selalu menggambarkan sesuatu yang tidak beres. Wharton bersandar pada beberapa ketakutan paling sederhana dan mempertajamnya pada aspek: pengabaian dan kesepian.
Baca Juga: 'Alaming Lelembut', Rubrik Horor Yang Populer Sejak Abad Ke-20
Salah satu kisah yang banyak digemari pembaca setianya adalah kisah dalam 'All Souls'. Ia memainkan latar belakang kisah yang umum, terjebak dalam rumah angker dengan sudut-sudut yang gelap dan sepi.
Ia memainkan diksinya dengan membangun suasana yang mengerikan. Ia melibatkan hujan badai yang membuat seseorang lebih memilih ruang dengan sudut yang gelap dan sunyi, dibandingkan harus keluar menerjang badai salju, dingin yang membunuh.
Penggambaran rumah tua adalah basis sederhana dalam kisah horor yang sering dimunculkan dalam kisah-kisah Wharton, agaknya ia mengilhami banyak perspektif penulis horor di kemudian hari.
Adegan dalam kisah-kisah gubahannya yang menarik ialah membuat rumah sendiri menjadi sesuatu yang asing, bahkan mencekam.
'All Souls' membangkitkan kegelisahan lewat adegan perabotan rumah yang berisik tanpa ada yang menggerakannya, mungkin saat ini telah menjadi hal yang umum, namun menjadi sangat menyeramkan di tahun 1940-an.
"Ia percaya, bahwa hantu bergantung pada keheningan, dan modernitas (kepercayaan orang modern) telah mengakhiri itu," lanjutnya. Kisah-kisah Wharton terus membuat pembacanya merinding, seperti halnya banyak fiksi pendek horor kontemporer.
Karya-karya horor klasiknya yang brilian dengan permainan diksi dan kecemasan psikologis, membuat setiap adegan dalam tulisannya seolah hidup, memberi kegelisahan sejumlah pembacanya.
"Ia melihat sudut terlemah seseorang melalui kecermatan (pendekatan) psikologis, menyuguhkan adegan lewat diksi-diksi yang menegangkan dan mengerikan," pungkasnya.
Sampai hari ini, Wharton dipercaya sebagai penulis horor yang mengilhami banyak perspektif penulis horor dengan gaya menulisnya yang luar biasa.
Setelah kematiannya pada 1937, karyanya dikemas dalam buku berjudul 'Ghosts' yang berisi kumpulan kisah mengerikan Wharton.
Source | : | Book Riot |
Penulis | : | Galih Pranata |
Editor | : | Mahandis Yoanata Thamrin |
KOMENTAR