Ternyata, bukan hanya Indonesia saja yang memiliki kota tambang yang kemudian dijadikan cagar budaya di Sawah Lunto, Sumatera Barat, tapi Belgia juga memilikinya, lho. Bahkan, sudah diakui sebagai situs cagar budaya warisan dunia oleh UNESCO sejak 1 Juli 2012.
Bukan hanya satu lokasi penambangan saja yang di jadikan cagar budaya, tapi ada empat lokasi di wilayah Wallonia di bagian selatan negara Belgia yang berbahasa Prancis. Tiga dari empat pertambangan itu ada di provinsi Hainauld, sedang yang satu lagi berada di Lige.
Pada Masa revolusi industri, Belgia berkembang pesat dan menjadi negara industri nomor dua yang terbesar setelah Inggris. Kini, sisa-sisa kejayaannya bisa kita lihat di situs yang telah menjadi cagar budaya warisan dunia itu.
Kalau di lihat di peta, letak ke empat lokasi pertambangan yang telah menjadi cagar budaya itu membujur dari sisi timur ke barat di bagian selatan negara Belgia. Keempat lokasi tambang itu adalah, Grand-Hornu, Bois-du-Luc, Bois du Cazier di provinsi Hainauld dan Blegny-Mine di provinsi Liege.
Saya berkesempatan mengunjungi Grand-Hornu di sekitar kota Mons yang ditempuh dengan kendaraan umum dan berjalan kaki sekitar dua jam dari kota Brussels. Dari kota stasiun utara kota kita harus menggunakan kereta sekitar 60 menit ke kota Mons, lalu melanjutkan dengan bus ke Hornu selama 25 menit untuk sampai ke lokasinya.
Turun dari bus saya berjalan kaki melewati jalan yang kiri kanannya terdapat kompleks perumahan tua yang dibangun pada abad 19 dan abad 20. Perumahan itu dibangun bersamaan dengan dibangunnya pabrik pengolahan batubara yang diperuntukan untuk para pekerjanya. Ada taman-taman juga dibangun di sekitarnya. Walau terkesan tua namun apik dan teratur. Rumah-rumah berlantai dua itu sampai saat ini masih dihuni.
Setelah melewati perumahan lawas di ujung jalannya terdapat ruang yang di sana berdiri dengan megah bekas kantor dan pengolahan batubara. Itulah banguan Grand-Hornu yang sekarang disulap menjadi tempat pameran seni kontemporer. Terlihat dua cerobong asap pembuangan di sisi kiri dan kanan bangunan. Ini bekas pabrik!
Kompleks pertambangan batubara ini didirikan oleh Henri De Gorge pada tahun 1810 dan 1830. Patungnya berdiri gagah di halaman rumput yang terdapat di tengah kompleks yang areanya mempunyai denah berbentuk oval. Di bagian belakang kompleks terdapat juga kuburan sang pendiri. Ditandai dengan patung Yesus disalib di atas bangunan pekuburannya.
Desain baru tempat ini tetap mempertahankan bangunan lama dan dipadukan dengan elemen dan fungsu-fungsi modern. Di tempat ini pula seniman Indonesia asal Yogyakarta, Jompet Kuswidananto, memamerkan karya instalasinya, yang berjudul \'On Paradise\'. Pameran ini dalam rangkaian festival seni Europalia 2017, di mana Indonesia diberi kesempatan menunjukan hasil kerja para senimannya di beberapa negara-negara eropa.
Karya Jompet ini sebuah kritik terhadap kolonialialisme di bumi Nusantara. Instalasi lampu-lampu gantung yang mewah dan berhamburan di lantai ruang pamer disimbolkan sebagai kekuatan sekaligus keruntuhan kolonialisme.
Seorang staff di Grand-Hornu menjelaskan pada saya bagian-bagian dan fungsi-fungsi bangunan.
Ada penambahan sayap baru yang lebih moderen, yang kini menjadi ruangannya Jompet Kuswidananto. Juga ada beberap penambahan, misalnya teater tempat pemutaran film. Di sana diputarkan film-film dari era saat kompleks pertambangan ini masih berfungsi. Saya sempat menyaksikan sebuah film dokumenter tentang kondisi pekerja tambang saat itu.
Melihat Grand-Hornu ini saya jadi teringat kota Sawah Lunto di Sumatera Barat yang juga bekas area petambangan batubara era kolonial. Ada baiknya langkah pemerintah Belgia menjadikan kawasan ini sebagai area konservasi dan pusat budaya bisa ditiru di Indonesia.
Saya membayangkan ada pameran-pameran seni atau pertunjukan-pertunjukan teater kelas dunia yang diselenggarakan di Sawah Lunto. Sapardi Djoko Damono membaca puisi Hujan Bulan Juni-nya, penari papan atas seperti Eko Supriyanto atau Rianto, bahkan pemusik Ananda Sukarlan bisa menunjukan karyanya di sana.
Ah, saya terlalu muluk berandai-andai!
Penulis | : | |
Editor | : | dian prawitasari |
KOMENTAR